alif lam


kau selalu saja begitu. berdiam diri dalam kitab kecil itu, kitab yang lebih kecil dari sebelah genggaman tanganku malah. ketika kitab-kitab lain riuh ricuh hingga membuat halaman per halaman sedikit kumal untuk sekedar diraba, kau masih saja duduk diam disana, tersenyum manis. apakah kau sedang menyapaku? bisakah kau besarkan sedikit suaramu? karena jujur, aku tidak mendengarmu. barang sedikit.

atau kau punya masalah dengan sekitarmu? apakah ada yang salah dengan kitab-kitab di samping kanan kirimu? demokrasi, dasar ilmu politik, kebijakan publik, pembangunan pemberdayaan, community development. seperti itulah nama-nama mereka. aku tidak tahu, apakah kau mengenal mereka dengan baik karena  yang kutahu, interaksimu dengan mereka jelas sangat minim. kalau boleh kukatakan yang sebenarnya, mereka hanya pelengkapmu saja, mereka di bawahmu kok. karena itulah aku menempatkanmu pada kolom yang berbeda. mereka di bawah. kau lebih sedikit di atas. atau ada dari mereka yang mulai mengganggumu? katakan saja, aku tidak akan marah. aku janji.

alif lam. kenapa kau masih diam saja.

sepertinya ada yang salah. sehingga aku masih saja gelisah seperti ini. atau jangan-jangan aku yang salah? kau jadi membuatku terpaku mati seperti ini. 

aku jadi ingat ketika kau masih sering menyapaku. dulu. ketika aku belum  berkenalan jauh dengan kitab-kitab lain itu. ketika bait-bait yang mereka tawarkan seperti membiusku untuk berpaling. entah yang mereka tawarkan itu baik atau tidak. entah aku dalam posisi rindu bertegur sapa denganmu. taukah apa bedanya tegur sapa antara denganmu dan dengan mereka? kau bercerita lugas di dalam hati, ketika mereka hanya bisa mencapai pikirku. 

kalau memang kau diam karena aku jarang menyapamu, maka tegurlah aku lebih dulu. karena aku sudah cukup tidak tahu diri untuk menegurmu lebih dulu. sudah cukup yakin sepertinya aku sekarang. aku harus terus merindukanmu.



mede
//kamar21 kampus cilandak, di duapuluhenam mei, di pagi

titik


malam ini dua belas dua tiga, waktu barat. terhenyak sebentar dari rajutan bunga-bunga tidur. kata orang, tulisan saya kurang begitu jelas, tidak begitu terang, tidak terlalu permisif menebar makna mayoritas. tapi begitulah saya, dan terimalah.

titik. jika terdefinisikan dengan sebuah symbol, maka ia terekam dalam balutan kecil yang setiap lainnya berawal. karena goresan pena, persentuhan dengan mediasinya, berawal dari satu titik. jika ia (titik) terhampar dalam satu media, hitam di atas putih ata berbaliknya, atau perpaduan warna kontras satu lainnya, 

maka ia bisa bahkan sudah hampir pasti menjadi talenta, menjadi perhatian, menjadi focus, menjadi sesuatu dalam sesuatu, menjadi pencerita dalam cerita, menjadi a dalam rangkaian duapuluhenam lainnya, menjadi 0 dari bilangan cacahnya. ya, dia menjadikan yang lainnya berbeda.

 dia (titik) sederhana, karena memang dia tidak mau paksakan diri menjadi yang lainnya, tapi dia selalu kontributif untuk memulaikan semuanya ada.ya, dia inspiratif, karena dia memulai, memulai segala sesuatunya. tidak pernah rasanya titik menggugat dirinya untuk diakui, karena dari ia segala bermula. dia tertutup, tidak terlalu ingin tampak, tidak ingin terlalu mengemuka. tidak terlalu sulit untuk bertemunya atau membuatnya, hanya dengan sentikan mata, tap! dia ada. pernah menimbang untuk melihat sesuatu yang jauh, jauh sekali, atau amat jauh?pasti kan saja, dia bermula dari titik yang kecil ke titik yang besar, ke sebuah bentuk, berlanjut ke sebuah jelas, lanjut terus kepada terdefinisi dan termaknai. titik itulah awal, dari sebuah jelas dari sebuah makna. bisa saja titik itu jauh, teramat jauh untuk dimaknai mata namun pada akhirnya, dia akan memberi kejelasan jikasaja diperjuangkan dengan berjuang. 

dalam sebuah gabungan s p o k atau s p saja, titik bisa saja mematikan nya dengan menempatkan dirinya di akhir huruf di pojok sekali. tapi, kita tersadarkan, termaknai, menjadi paham, bahwa sesudahnya kita bisa bercengkrama dengan sebuah awal kembali. kita bisa bertemu dengan huruf diantara yang duapuluhenam, bertemu dengan kata, kalimat dan apabila beruntung, kita akan menjumpa dengan paragraph baru. ya, titik itu pembuka lembaran baru, bisa saja judul baru untuk cerita baru. 

titik juga jadikan berbeda itu ada. melihat sedikit ke barisan hijaiyah dari arab, banyak titik dimana disuka dimakna. dengannya, kita membeda antara satu dan lainnya. dengannya, huruf per huruf akan jauh berbeda tinjauan grafologinya, makna per katanya, dan cerita dari kalimat per kalimatnya. ketika satu titik menghilang, satu titik menjauh dari peraduan, atau satu titik menyelinap dalam satu lainnya, dia berubah. dan perubahan dalam grafologi hijaiayah biasanya tidak akan konstruktif. maknanya ubah berbaur aneh. 

entah bagaimana selentingan titik itu bisa ada menyelinap di benak, di dalam pekatnya nyaman, atau senda guraunya pikir. mungkin saja, titik itu terlempar begitu saja dari ramahnya jari jemari, atau sebuah persingkatan yang paling singkat, atau penemuan yang paling cepat. mungkin juga karena saya ini awal, atau saya ini adalah akhir, atau mungkin saja awal dan akhir dalam konteks yang bersamaan. selalu berharap, titik yang ada bisa menjadi awal. awal penciptaan, awal yang baik untuk akhir yang indah.




dalam keteringatan titik di selentingan jemari sebelah sana.
//rumah banjarbaru, di dua puluh lima desember

kamuflase

cermin pernah mengajak bertukar sedikit fakta, tanpa kata, tanpa suara. apa yang menampak, seperti itulah yang mengemuka, yang menukarkan diri dengan kata dan suara, dari luar, bukan dalam tentunya. mata bertukar mata, berbagi gembira, akan indahnya refleksi dari si pemantul. gembira di luar jelas, bukan di dalam.

ingin sesekali mengajak, untuk sesekali bertukar hati, bertukar data’ dari anomali refleksi yang ada. karena, refleksi hati seperti lebih nyata dari cermin dimana, dimana saja. namun, delusi akan sebuah anomaly refleksi seperti lebih mengemuka disbanding lainnya. distorsi, ketika fakta diputar dan dibalik akan terus dan terus menerus.

ya, kamuflase. suatu proses pengelabuan, menyamarkan, mencoba mengubah refleksi akan terus dan terus menerus kembali. entah kapan akhir. entah kapan berhenti.




 dini hari yang selalu hangat.
//ampera raya cilandak, rabu di empat april

cahaya kecil

Photobucket

buku berserak barak

Photobucket

bintik kopi

Photobucket 

sore ini, seperti biasa kembali kunikmati butiran kopi yang berlari di sepanjang gelas putih milikku. ditemani sepotong sendok, yang kulupa punya siapa. lebih tepatnya, pura-pura lupa. sepanjang apa lintasan pacu butiran kopi yang ditawarkan, sepanjang itu juga kuupayakan memburunya. kuupayakan juga ikut berlari bersama.

air setengah mendidih yang kuseduh di ruang tengah seperti sedang berdiskusi di dalam. cukup alot, membuatku sedikit jemu untuk menatap, hanya sekedar menatap hangat yang ia tawarkan. menunggu butir demi butir menenggelamkan diri itu ternyata membosankan juga. kenapa?mungkin karena aku orang yang tidak begitu suka pahit yang butiran kopi ceritakan. aku hanya seorang yang menunggu hasil diskusi singkat antara mereka saja. karena yang kupahami, diskusi akan menimbulkan banyak refleksi, walaupun hanya segelintir saja yang mencapainya.

ada yang menarik dengan aku dan kopi belakangan ini. tidak seperti biasa, aku tidak mengikutsertakan banyak gula. walaupun tidak dapat kusangkalkan, aku masih tidak bisa lepas dari si manis ini. mungkin saja aku sedang mencoba pahit yang sepertinya sangat jarang berlaku, atau mungkin juga manisku keterlaluan sehingga aku tidak begitu tahu bagaimana pahit sedang bercerita, dengan indahnya.


 satu sore, masih dengan pergulatan kopi hitamku.
 //ampera raya cilandak, hari selasa di duapuluhdua mei.

bukit layangan


Photobucket

suatu pagi, di sebuah bukit layangan. aku kecil berjumpa dengan kamu kecil. aku tahu kamu pasti datang dengan membawa ransel kecilmu itu, dan sudah pasti aku juga membawa tas bututku ini. kita tahu dan sama-sama tahu, kalau kita membawa perbekalan masing-masing. kita saling tersenyum saja ketika bertemu sebelum ini. kita membuka bekal masing-masing. kamu di sebelah sana, aku di sebelah sini. tapi hari ini, aku ingin bermain bersama. maukah kamu bermain bersamaku?

suatu pagi, di sebuah bukit layangan. aku tidak perlu banyak bicara untuk mengajakmu bermain. aku lemparkan tangan kecilku, kamu langsung menyambutnya. sepertinya kita sama. butuh teman bermain. toh, kemarin-kemarin kita sama-sama bermain sendiri. kalau bermain bersama jauh lebih menyenangkan, kenapa jadi harus bermain sendiri. kita sepemikiran. mari kita bermain bersama.

suatu pagi, di sebuah bukit layangan. kita sama-sama bingung mau bermain apa. ternyata diluar pemikiran kita berdua, kita sama tidak kreatifnya. hehe. tapi bukan berarti kita lewati waktu bermain ini dengan begini saja. aku tahu apa yang menjadi kesenanganmu, sehingga tidaklah sulit untuk membuatmu tertawa lepas. kalaupun sebenarnyakamu masih bilang, aku tidak kreatif membuat suatu permainan, aku langsung berlari menghampirimu. melepaskan jitakan mautku. enak saja kamu bilang tidak kreatif, aku tidak terima! kamupun bisanya cuma terdiam ketika jitakan demi jitakan mendarat di kepalamu. sebenarnya bukan jitakannya yang penting. sesudahnya. kita tertawa lepas bersama lagi. 

suatu pagi, di sebuah bukit layangan. kamu mengajakku lomba lari. akupun menerima saja ajakanmu, karena katamu juga, yang kalah gendong yang menang nantinya. wah, kapan lagi aku bisa digendong, pikirku. kita berdua mempersiapkan diri, karena yang aku tahu, kamu lumayan jago lari. mulai! kita berlari bersama, mencapai garis finish yang kita sepakati bersama. ternyata kamu tangguh juga, tapi tetap saja aku lebih tangguh darimu. kutinggalkan kau sedikit di depan. sedikit saja. sampai kau tarik tanganku, ah curang! akupun terjatuh, dan kamu sampai finish pertama. curang, curang, curang. tapi kamu tetap saja menjulurkan lidah jelekmu itu, sambil memaksa-maksa digendong, seperti kesepekatan sebelumnya. dengan memasang muka bengisku, kugendong kamu keliling lapangan bukit layangan kita. ternyata kamu ringan saja, hehe. tidak ada salahnya rasanya kugendong kamu walaupun aku menang tadi. dan seperti biasa, kita menyanyikan lagu faforit kita bersama-sama, sambil tertawa lepas. 

que sera sera, whatever will be will be.the future's not ours to see. que sera sera, what will be will be . . .

suatu pagi, di sebuah bukit layangan. capek juga bermain sepanjang hari. kita buka bekal sama-sama. kamu ambil bekal dari tas ranselmu, aku ambil dari tas bututku. kita saling menjulurkan lidah awalnya, karena kita masing-masing menyombongkan bekal yang kita bawa. tapi ujung-ujungnya, makan bekal bersama-sama ternyata jauh lebih menyenangkan. aku membagi bekalku, kamu tidak lupa membagi bekalmu. jadi sedikit lebih nikmat istirahat hari ini, karena aku bisa mencoba makanan baru. bukan ikan asin seperti biasa. 

suatu pagi, di sebuah bukit layangan. memang ini sudah waktunya pulang. tapi aku ingin mengajakmu. ya, mengajakmu terbang. aku sedikit memaksamu dengan mata mubengku, akhirnya kamu mau juga. kita tanggalkan saja tas ransel kita berdua disini, kita tinggalkan di bukit layangan kita. kita siapkan terbang ini dengan berlari. mari, pegang tanganku, kita berlari bersama. 

lari..lari..lari..terbaaaaaaang!

aku masih memegang tanganmu. ternyata terbang bebas lepas itu menyenangkan ya. lebih-lebih aku bisa terbang dengan menatap matamu seperti ini. sekarang. yang kupunya hanya dirimu. maukah kamu terus terbang bersamaku seperti ini? untuk menua bersama-sama.




mede
//bukit paralayang puncak. di tujuh belas mei