mattompodalle


 sebuah cerita, berbagai makna didalamnya. sebulan rasanya saya menginjak mattompodalle, sebuah lapang di daerah kabupaten takalar, tanah ujung pandang. bertemu berbagai pengalaman, berharga, penuh warna, penuh kekuatan, penuh ceria, penuh banyak sederhana bagi saya yang lumayan awam ini.

sederhana. sepertinya ini kata kuncinya. ketika kau temukan sederhana yang terstruktur secara tentram beraturan, maka akan kita genggam suatu kekuatan tak terbatas, tapi tidak menyombong sehingga akan jadi tidak tak terbatas. ya, begitulah sederhana yang bertemu saya di mattompodalle. ketika sederhana menjadi tidak dibuat-buat, ketika sederhana mengalir deras begitu saja, menyejukkan, ketika sederhana itu menjadi maksimal, dan semoga ketika sederhana itu tidak menjadi berantakan dengan keberadaan kami.

sanekane

sanekane. mungkin terdengar asing, mungkin saja sering bagi sedikit atau segelintir saja. saya juga mendengarnya asing, dan baru saja tertemukan di halaman wiki. ya, sanekane sama saja dengan jejaring sosial. sebuah frasa yang baru saja menyeruak mendadak belakangan, karena teknologi, karena globalisasi, karena berubah itu adalah sesuatu yang sangat cepat rasanya sekarang. dan. jejaring sosial, sebutkanlah sanekane mulai mengubah, mulai ekspansi sebuah ubah, mulai mengemuka, mulai berkestensifikasi. mari mulai menanya, berubah seperti apa?

bertiga


ini cerita tentang suatu makna, bersama, percaya, teman pencerita, sosok pemerhati, bahagia, pastinya. sebuah ladang, segenap makna, sebuah proses merangkul (makna) bahagia.

memang tidak mudah menjadikan tiga menjadi satu. bisa saja karena tiga istimewa sehingga dia putuskan untuk sedikit menyulit untuk menyatu, menjadi satu, padu. dikait dengan keberadaan ilmu pasti, algoritma; perumusan integral matematis; dan atau pun dengan menambah rumus fisika yang sudah teraku, sepertinya tiga akan tetap menjadi sulit untuk menjelma menjadi satu. tapi, sulit bukan berarti ketidakmampu, toh buktinya ada.
saya tahu, menyadar, meng-aku-kan jika dari tiga yang ada, mungkin saya yang paling tidak dan bukan apa-apa. sedikit melakukan apa (saja), minimalis dalam hal kontributif dalam tiga yang cukup  kohesif, bahkan mungkin saja, saya yang menghancur sebuah konstruksi rapat terbangun. karena. karena.

pribadi

pribadi. dunia ini penuh dengan pribadi-pribadi, dengan multifaset dan multikulturnya. dengan multifisik dan multipersonalitas kepemilikannya. ya, jelas, tegas bahwa pribadi itu tidak sama, beda, multifaset, dan dia berdiri satu-satu, sendiri dengan realita independensi setiapnya. kalau ada argumentasi, mungkin ada yang melebar menjadi hipotesa, bahwa, ada pribadi yang sama di rata dunia ini, jelas salah dan ketika berlarut-larut akan menyalahkan. jelas, setiap pribadi itu beda.

dia

semakin berlarut-larut saja rasanya. semakin merasa bahwa nyaman itu ada, sedang bergerilya, sedang bercerita dengan lugasnya, disini, di hati dan tepat tempatnya. coba mengingat dulu ketika masa muda, masa masanya masih berdecap dengan sedikit cakap, rasanya nyaman ini belum pernah ada apalagi menggempita seperti ini. ya, tepat, karena dia.

katanya, dia sederhana, memang seperti itu rasanya. katanya, dia itu tidak seberapa, kalau dilihat muka dan rupa, benar adanya, tapi tetap hati ini bilang dia istimewa. mungkin ada yang sedikit berkata, dia itu sama, jelas salah, dia itu berbeda. berbeda. berbeda. berbeda dan istimewa.

kata dan bicara

kita mulai saja hitam diatas putih ini. karena, ketika bicara belum hiper aktif atau proaktif atau (bisajuga) aktif saja, maka lengkungan garis yang tersepakati menjadi tanda, menjadi isyarat, menjadi makna sehingga setiap orang yang memperhatikannya akan menjadi makna, yang sama tentunya.

sebut saja  yang kita tulis ini kata. tulisan akan menggempita jika ada paragraph yang berhadir nyata. paragraph akan mengemuka, ketika kalimat menunjukkan mukanya. kalimat juga akan berunjuk, jika ada kata. ya, kata yang memberikan cerita, kata yang mengemuka sebuah tulisan, kata lah yang berkontribusi untuk sebuah makna.

cinta

masalah ini tersedak sekarang dalam pekat dalam tenggorok dan badan seluruhnya. dulu memang tersepelekan kata yang tersingkat sedikit ini, karena memang tidak pernah ada berdampak mengakar hebat dalam setiap inchi hidup ini. dan akhirnya, aku merasakannya, menjalankannya, hingga ia merasuk pekat dalam akal, rasa, pikir, sentak dan berbuat.
awalnya memang biasa saja, hanya sebuah proses kagum yang berlebihan saja. namun, ya apa mau dikata, dia mulai tumbuh, menancap, secara resesif mematenkan dirinya menjadi bagian dalam tubuh yang sudah ringkih ini. akhirnya, sadar itu mulai muncul, ketika dulu senyuman simpul sering bergelora melihat pemuda-pemudi saling mencinta dan dicinta. sedikit sepele muncul ke permukaan ketika yang satu bergombal durja kepada sang dicinta. ketika hati, pikir, dan rasa mengatakan, tidak usah berlebihan kawan, biasa saja. ternyata. ternyata. seperti ini cinta menawarkan dirinya.

si besar yang terlalu kecil

sudah lama rasanya saya tidak bermain dalam lengkungan keyboard computer kah namanya, atau dulunya ini hanya mesin tik rengkit sempit. 

hati ini terasa berdebar kencang terus kawan. seperti telah terjadi pergumulan atau pergumpalan atau bercampur pekatnya sesuatu yang aku pun tak tahu apa. pergumulan ini seolah tunjukkan pada saya, bahwa saya ini bukan apa-apa, belum ada apa-apa yang terbuat bahkan untuk dirimu sendiri lebih-lebih untuk serentetan manusia lain. seolah isi kepala ini tidak mampu dan cukup untuk meladeni pergumulan yang terus berkembang, proaktif dan hiper bisa mungkin.

aku dan sutradara


sepertinya memang seperti ini caraku menikmati hidup. berbuat, salah, kembali berbuat dan seperti tidak ada yang terjadi. banyak orang memprestasikan dirinya untuk sebuah perubahan, perubahan dan perubahan. aku memang ditakdirkan seperti ini. tidak ada perubahan. datar. tanpa perkembangan. penuh involusi. penuh desersi. penuh kesalahan. penuh ketidakpastian. penuh hal-hal yang selalu negatif. 

aku tak begitu tahu caranya. aku tak begitu mengerti alurnya. aku tak begitu mengerti jalan ceritanya. aku tak mengikuti skenarionya. ya. sekali lagi ya. aku bukan aktor yang baik. aku bukan seseorang yang selalu katakan ya kepada setiap kata yang terlontar pekat dari sang sutradara. entah bagaimana akhir ceritanya nanti, tak terpedulikan sungguh bagi diri yang hampa ini. lagipula, aku dan sang sutradara terlalu jauh jaraknya. walaupun ada yang katakan sutradara itu dekat, aku tak begitu mengerti untuk menjalankan skenarionya yang aku sendiri produsernya (mungkin) atau sang sutradaralah yang merangkap untuknya.

risau itu akut

jujur aku sebenarnya kurang nyaman dengan keadaan seperti ini. entah aku yang membuat-buatnya seperti ini, atau memang seperti ini sudah terjalankannya. ada semangat dari beberapa, aku sendiri yang tidak menerimanya. ada yang sudah memutuskan untuk memperhatikanku lebih dan sedikit berbeda, tapi lagi-lagi aku seolah-olah tidak menggubrisnya. ada yang tidak peduli apapun kata untuknya, dia masih terus memutuskan untuk menyemangati makhluk tidak tahu etika ini. tapi, ketidak pedulian juga merebak aktif.
aku lelah tuhan.

egoisme masif

ya, egoisme masif. sedikit rentetan kata yang coba saya keluarkan dari barisan hemoglobin dan setiap oksigen yang saya gunakan tepat setiap hari. kalau mengatakan perkataan saya demokratis, saya hanya cukup tertawa rapat untuk menerimanya. padahal hati tetap. tetap pada masif yang rapat bernama ego. egoism mungkin menariknya.

masalah



lama rasanya tidak menulis lepas, ungkapkan rata setiap makna yang terpintas lintas menjadi kalimat kembali. saya senang, terlepas senang atau tidaknya yang lain membaca apa yang terkemuka di blog ini. senang karena, saya bisa lepas, tegas, tuntas menulis apa yang terpikir ataupun tidak, terkonsep ataupun tidak, terencanakan atau tidak, disini, di wadah penampung kata yang entah punya makna atau tidak juga.

cerita dari kata saudara


akhir belakangan, saya agak sedikit berbeda dari biasa. entah apa yang merubah dan apa yang terubah. sebenarnya kurang nyaman dengan keadaan seperti ini. payah. under pressure. motivasi pasif. ya, ya, ya. semua bagian dari alur kehidupan yang telah dirancang.
entah kenapa, saya menjadi senang diperhatikan. ada perasaan berbeda ketika saudariku – lebih senang seperti itu saya menyebutnya – memberikan semangat satu demi satu dari pecahan-pecahan yang entah mulai kapan ditebarkan. memberikan senyuman ikhlas tak pamrih seolah katakan “ayo bangkit, kak!”. setiap saat, tepat atau tidak, sempit ataupun luas, diperlukan ataupun tidak, segelintir usaha untuk membangkitkan terus dan terus mengalir. seperti aliran air jernih yang memberikan kekuatan.

sumba opu fort

antara hitam dan putih


hari ini kutumpahkan semua dalam bentuk kata karena aku rasa tak berarti kalau tumpahan itu hanya dari air mata, toh tak pernah aku merenungi air mata itu menjadi rincian kerja nyata.
hari ini kulihat jamtangan ku menunjukkan pukul 13.04, ya tengah hari lah kata lainnya. aku makan, berserakan, keramaian, entah berapa banyak yang ikut bersantap penuh suka, katanya. aku rasa sedikit berbeda, walaupun sebenarnya sudah kulakukan hal ini berkali-kali, berulang kali dan sekali lagi berkali-kali. entah itu kesadaran, entah itu komitmen pasif seperti biasa, atau mungkin yang lainnya.

keteladan yang hilang



tulisan ini kudedikasikan untuk diriku, penikmat diri dan orang-orang yang mungkin banyak terdzolimi oleh diriku. sikapku. perkataanku. atau mungkin bagian kecil besar diriku yang membuat kalian kaku terpaku.
entah kenapa dengan diriku. entah kenapa dengan hati ini. setiap ingin berbuat, alasan alasan bergerilya menghalangi. setiap ada terpikir, selalu ada janggal yang mendesak. katanya ingin lebih baik, katanya ingin menjadi lebih besar. jika seperti ini sentakan-sentakannya, baik hanya akan menjadi angan, besar hanya akan menjadi bualan. tapi, sudahlah. aku tulis, aku berkomitmen, tak ada yang terealisasi aktif menjadi positif.

entah apa

 perkenalkan namaku topeng,
kalau aku berjalan, entah kenapa orang memanggilku pengembara kehidupan
kalau aku berlari, entah kenapa orang memanggilku si cepat tiada banding.
aku jongkok, katanya aku hebat.
kalau aku berdiri, aku superior.
kalau aku tersenyum, aku dinamai si penebar pesona.
kalau aku bicara, gelar si penggugah suasana pun kudapat.
kalau aku makan, harus ada hidangan terbaik.
kalau aku menangis, harus ada yang mengembalikan senyumku.
kalau aku tertawa, harus ada orang yang kucampakkan.
kalau aku begini, orang harus begitu.
kalau aku begitu, orang harus seperti ini.
ketika aku bercermin.
ah,
aku lupa,
aku tak punya nama.
jelas aku tak punya rupa.
rupaku, namaku, aku.
hanyalah sebuah usang di kantong yang lusuh.


bongkar muatan laptop kembali,
-maidiyanto rahmat-

pelabuhan akhir

katanya,
pelabuhan itu tanpa nama,
indah, nyaman tentram dan menyejukkan.
aku berlayar,
terus berlayar pecahkan ombak-ombak yang tidak tahu sebesar apa,
walau dengan seonggok perahu,
yang kutahu sudah tak tahu rusak berapa.
kupertahankan tangan ini,
agar tetap pada iramanya,
kupertahankan kaki ini,
agar tetap melangkah fana,
kupertahankan sepatah badan ini,
agar terus mengayuh, mengayuh, mengayuh, mengayuh.
ayo.
semangat yang tidak tahu kapan dimulai.
yang lebih tidak tahuku kapan terus bertahan, bahkan selesai
ya.
aku harus sampai pada pelabuhan itu.
karena disana, “katanya”
indah, nyaman, tentram, meyejukkan.
aku lupa,
aku lebih dari seonggok dosa
lebih hina daripada muna
aku lupa,
aku tanpa nama
tanpa nyawa.



bergerilya bongkar muatan laptop,ditulis entah kapan

 -maidiyanto rahmat-

dia menggoda


lama saya tidak merasakan jubah lebar menutupi dada kepemilikan seorang muslimah. dunia kampus memang sebegitu keras dan melihat lebar menjadi sesuatu yang menggetarkan. entah kenapa tadi saya sedikit berbicara hati melihatnya. begitu indah terlihat ketika jilbab lebar itu terbungkus rapi membalut kepalanya. tunduk dengan mata yang sebenarnya zina, tunduk hati ketika berinteraksi dengan lawannya.

jilbab dan sikapnya menjadikan pete-pete alias angkot sediki berbeda. ketika yang jilbab dengan pakaian ketatnya, ketika jilbab dengan sikap nonmuslimnya, ketika jilbab yang lain hanya sebagai replika. bahkan ada yang tidak berjilbab! padahal dia tahu harus.

uh, kampus menjadikan yang lebar tidak terlalu berperan, asing, aneh bahkan mendekati ketidak benaran. aturan liberalis, rasionalis, nasionalis, naturalis menggerogoti aturan sebagaimana mestinya. ketika benar itu mulai memudar, kita yang muslim harusnya coba jernihkan. ketika seharusnya a, jangan dipaksakan b, bahkan ada yang merenovasinya hingga mendekati z. 

penghargaan aktif, kemanusiaan, keseteraan gender, entah apa lagi yang diatasnamakan atas kebenaran. ayolah. kita punya aturan. aturan yang akan menjaga. aturan yang benar. aturan yang harus kita laksanakan. masa kita menimbang aturan yang benar, keterlaluan.

uh, indonesia sudah terlalu jenuh. tapi disitu ada tantangan untuk terus tegakkan aturan, hanya yang benar.




mari kita saling mengingatkan.
 - maidiyanto rahmat -

keteringatan

huh.
saya tidak tahu kepada siapa pikir ini terluap jadi saya rincikan, selesaikan dalam bentuk kata-kalimat-sejeret gerilya paragraf yang tidak tahu sebenarnya bisa dari mana.
hari ini saya ingat 22 november lalu.
saya ingat ibu.
saya ingat ketika ibu kelelahan di ruang ortopedhy dulu.
saya ingat ketika saat itu saya baru tiba dari sebuah negeri berintangan terjal bernama makassar.
entah berlebihan atau tidak, saya merasa saat itu saya adalah orang yang paling ingin ditemui ibu.
dekapan hangat.
banyak air mata.
darinya.
dari saya entah berapa lebih sedikit.
aku rindu dekapan itu.
aku rindu kehangatan itu.
aku rindu.
aku ingin lagi.
lagi.
saya terkadang lupa kalau saya bukan kecil yang menggemaskan lagi.
saya sudah habiskan duapuluhtahun untuk hidup.
duapuluh tahun



-maidiyantorahmat-