itu kamu?

Photobucket

lagu lama

Photobucket

rumah kecil

kita, terdampar dalam jaman yang berbeda. aku disini asik dengan duniaku. disana aku tidak tau kau sedang asik dengan apa maupun dengan siapa. entah dengan gitar coklat selebrasimu, atau dengan lengkingan suara kecilmu, atau mungkin saja kau masih seperti biasa, sibuk duduk sendiri menatap esok yang tidak pernah tau bagaimana rupanya.

aku pernah coba memutar lensa kameraku. kamera jelek hasil jerih payahku. kucoba fokuskan pada titik yang tidak pernah kutau apa sebenarnya ia. kuupayakan posisi terbaik untuk mengambil sebuah foto, karyaku. seperti katamu, hidup harus kaya karya bukan? walaupun aku sudah berupaya mengelap keringat untuk kesekian kalinya, mencoba menutup lelah yang sudah lama berlari-lari dalam pikiranku. hidup untuk karya terbaik itu kan sebuah kebahagiaan. dan kebahagiaan itu adalah sesuatu yang indah. tahukah dimana letak indah yang sebenarnya? ketika kita tidak tahu dan kurang begitu mengerti, karya apakah yang sedang kita buat.

gitar. asal kau tahu saja, aku juga lumayan pandai memetik gitar. lagi, kunamakan ini gitar jelek hasil jerih payahku. karena sudah banyak yang mengajariku, memetik senar demi senar dengan jemari lengkap bukanlah sesuatu yang lebih rumit daripada algoritma membosankan di buku matematikamu itu. merangkai partitur demi sebuah komposisi yang paling indah itu rasanya seperti menyeduh kopi saja. kita yang membuat campurannya, orang yang nikmati aromanya. tapi, tetap kitalah yang menyantapnya, menghabiskannya sampai ke ampas-ampasnya, dengan lirikan tajam kepada semua orang sempat mencicipi aromanya.

(              )

udara malam ini sejuk juga. bersama bulan yang tidak pernah sudi menyibak mendung yang ada. bersama rintihan suara alang-alang yang sedikit berantakan. bersama pikiran dimana kau selalu meneriakkan namamu didalamnya. pernahkah kau berusaha sedikit pelankan suaramu, karena ia selalu mengitariku, di sekeliling setiap sudut yang ada terbentuk. pernah kuajak gemintang untuk menerangi pikiranku untuk menerangi gelapnya alam pikiranku. seperti malam-malam biasa. tidak ada bintang malam ini. dan sepertinya, akan seperti ini juga selanjutnya.

untuk malam ini, kita mainkan gitar saja. cukup dengan nada-nada pendek seperti biasa. karena yang tidak biasa kadang ada tidak benarnya. kenapa jadi kita bertaruh untuk sesuatu hal yang mungkin tidak ada benarnya? kenapa kita menyusun bait panjang kalau bait pendek saja sudah cukup membahagiakan? kenapa kita sibukkan diri dengan beribu rencana kalau duduk bermain gitar disini adalah sesuatu yang lebih menyenangkan? hahaha.


. . .
i try to picture a girl
through a looking glass
see her as a carbon atom
see her eyes and stare back at them
see that girl
as her own new world
though a home is on the surface, she is still a universe
. . .



mede
/menyibukkan diri malam hari

taruhan

sebuah meja bundar besar, dari kayu. entah memang aslinya, ataukah hanya replika, seperti sebagian besar belakangan ini. aku sekarang di hadapannya dan aku tidak begitu pandai berhitung, seberapa banyak orang yang mengitarinya. aku juga tidak terlalu pandai mengukur, apakah meja ini benar-benar bundar seperti penafsiranku. begitulah, tidak ada rasanya pandai yang sudi melekat padaku barang sekata.

kelihatannya, ini meja taruhan. tidak tahu bagaimana caranya bermain yang penting aku merasakan aromanya. aroma persaingan. aroma saling menjatuhkan. aroma untuk memojokkan lawan main. aku tidak tahu aturan mainnya, kenapa tidak ada yang coba memberitahuku bagaimana cara memulai permainan ini? aku mulai mengitari sekitar meja, berupaya mendapatkan jawaban dari setiap sudutnya. aku lupa, kalau meja ini bundar, tak berujung dan jelas tak punya sudut. apa jadinya? mengalir saja, toh mau tak mau akan sampai giliranku memainkannya. atau jangan-jangan aku giliran pertama? entahlah.

aku tidak boleh larut dalam kebingungan ini. karena menurut hematku, taruhan itu hanya berkutat pada tiga hal, giliran, pilihan dan resiko. karena aku tidak tahu siapa lawanku, akulah yang mulai pertama, ada yang keberatan? semoga tidak. 

bagaimana memulainya, bagaimana memulainya, bagaimana memulainya. pertanyaan itu seolah memaksaku untuk tidak lagi menyembunyikan kernyitan dahiku yang kusimpan dari tadi. mencengkram ubun-ubun kepala. memejamkan mata. aku bingung. kebingungan lengkapnya. tapi berhentikah aku dalam bingung ini?  tidak bisa. aku sudah memutuskan untuk turut duduk di depan meja bundar ini dan sekarang sudah tidak mungkin lagi untukku keluar dari arena taruhan. 

aku mencoba memikirkan kembali. aku yang akan memulai taruhan ini, karena itu akulah yang menentukan aturan mainnya. cerdas. aku akan membuat aturan sendiri, dan jelas akan kubuat sedemikian rupa untuk kemenanganku di akhir nanti. walaupun kalah menang itu biasa, tapi siapa yang tidak ingin merasakan kemenangan. egoiskah? haha, rasanya kalian semua lebih egois dariku. tidak butuh waktu lama untuk membuat aturannya. aku siap memulai taruhan ini. 

sebelum mulai, aku ingin menyombongkan diri dulu. aturan main kan dariku, siapa yang bisa mengalahkannya. sekali lagi, aku mengitari seputar meja bundar, memastikan aku sudah mendapati setiap jengkalnya. karena ini kali kedua aku mengamati meja ini, aku jadi sedikit ragu apakah meja ini benar-benar dari kayu? tapi sudahlah. bukan masalah bundar, bahan kayu ataulah hal lainnya. yang pasti, akulah yang akan menjadi pemenang taruhan ini. 

aku mulai dan giliranku selesai. lama juga. siapa giliran berikutnya?

. . .

Tuhan! aku bertaruh sendiri.
meja bundar, resiko, pilihan, menang, kalah, pecundang. semuanya sama saja, tidak ada artinya.



 sedikit monolog menjelang tengah malam,
// terdiam sendiri di dalam kamar sendiri

teh dan/atau kopi

Photobucket

jalan di bus

Photobucket

pesan singkat

hari ini. pesan singkat menyapaku. tidak seperti sebelumnya, dia diam disana. hanya melemparkan tatapan. hanya membagikan pandangan.

hari ini. pesan singkat menyapaku. walaupun ini bukan pertama kalinya. aku sedikit gagu. bagaimana membuat pembicaraan singkat. dan membuat, seolah-olah kita dekat. toh, kita juga teman sejak lama jadi apa salahnya, iya kan?

hari ini. pesan singkat menyapaku. harus kuakui. aku senang kau menyapaku kembali. bolehkah aku bertanya. kenapa kau berdiam begitu lama? jangan diamkan aku lagi ya. karena aku senang kita saling menyapa. seperti dulu.




mengamati pesan singkat, satu-satu
//dalam kampus cilandak, bersama teman lama, dimalam ditiga puluh mei

kosmetik

aku hari ini dapat kesempatan menyusuri sepanjang kota. Kota tetangga. aku sudah lama disini, tapi kesempatan untuk mencicipi jamuan kota tua ini tidak datang  untuk kedua kalinya. lalu adakah alasan untukku untuk menolaknya? tidak ada.

kota berbau asam ini bukanlah kota yang menarik sebenarnya. sepanjang jalannya, tidak ada aroma lain yang bisa kau sapa, sepertinya memang tampak berbeda. tapi percayalah padaku, aroma mereka semua sama saja. mereka seperti menawarkan kepadamu aroma-aroma  khas yang mereka punya. mungkin mereka membuatnya dengan berbagai campuran dengan rumus-rumus yang mereka formulasi sendiri. mungkin juga, aroma yang mereka cap sebagai milik mereka itu sudah melewati berbagai percobaan-percobaan seperti para ilmuwan hebat pada masanya masing-masing. mungkin. mungkin saja. tapi, sekali lagi aku coba meyakinkan kalian. aroma mereka kelihatannya saja berbeda. mereka semua sama saja.

aku coba menyusuri satu-satu jalannya. di pojok blok pertama,  sekumpulan anak, aku bertemu dengan mereka. mereka bukan anak-anak lagi sebenarnya, tapi mereka jauh dari sebuah kata dewasa. satu yang tidak kusenangi dari mereka. tatapan matanya. seperti mengisyaratkan sebuah panah yang baru saja diarahkan melesat ke hati kecilku. dan ketika kucabut perlahan anak panah itu, bukan di badanku, tapi tepat di tas bututku. mereka tidak jauh lebih pandai dari dugaanku untuk memanah dengan baik. ternyata ada kertas kecil melingkar di ujung panahnya. kulihat.

‘hei, kamu berbeda dengan kami. datang  dari planet mana?’

congkak! padahal yang kudengar kabarnya. mereka disini juga bukan karena uang-uang mereka. ya, karena receh-receh orang miskin yang masuk kedalam kantong uang tua mereka. kuberi nama saja mereka anak-anak orang kaya termiskin di dunia.

sudahlah, untuk apa aku berlama-lama dengan miskin-miskin berbahaya itu. aku berjalan lagi. blok selanjutnya, aku tidak menemukan banyak interaksi disini. setiap orang penduduk ini duduk di pojok-pojok setiap toko-toko kecil yang mereka klaim pojok milik diri mereka sendiri. dengan computer jinjing, satu paket dengan paket internet yang sudah mereka anggap seperti tiket untuk melancong ke negeri mana saja. aktivitas mereka juga tidak banyak. mereka gunakan software untuk memperbaiki penampilan mereka. software penghilang jerawat, software pembuat bingkai hidup, software pengaturan cahaya untuk memaksakan muka hitam mereka menjadi sedikit lebih terang. ya, setidaknya mereka bisa bernampilan lebih baik. walaupun hanya di dunia maya.

bosan aku cuma berjalan-jalan saja. kuputuskan  mampir ke dalam sebuah toko besar. katanya, toko ini khusus untuk wanita saja, tapi ternyata banyak juga laki sepertiku yang masuk begitu saja. dalam sini cukup banyak yang kutemui. ada yang tersenyum, ada yang tidak. seorang wanita, umurnya sekitar duapuluhan. kami bertukar mata bukan secara langsung, lewat kerjasama kami dengan cermin besar di depannya. dia sedang berdandan ternyata. dan dia ternyata sudah disana dari pagi, padahal ini siang hari. katanya warna pakaian atasnya masih belum bertemu pasangan pakaian bawahnya. ada-ada saja.

toko besar ini punya banyak toko-toko kecil. toko yang kuingat, ada beberapa. ada toko yang menjual emas, yang katanya kalau memakai emas dari tokonya, tidak ada yang melihat tanpa berkedip ketika kita mengenakannya. ada juga beberapa butik pakaian. seingatku, tidak ada satupun butik yang menyelesaikan jahitannya dengan baik. ada yang masih belum selesai di bagian punggungnya, ada yang bagian kanankiri lengannya tidak sama panjangnya, ada yang masih bolong di bagian perut. tapi ternyata penduduk di blok ini menyukai pakaian-pakaian belum jadi itu. ya sudahlah. ada satu toko yang cukup menarik, mottonya, ‘menghilangkan segala kekurangan fisik yang kamu punya’. cukup mengejutkan. bukan karena mottonya, tapi karena toko ini sudah menyusul tuhan. baru saja. ini toko kecil terakhir.

kota berbau asam ini ternyata luas juga, padahal aku hanya melintas sepanjang garis lurus saja, belum ada belokan yang kujalani. mungkin saja, masih saja banyak lagi sesuatu yang lainnya.  dan aku. berakhir di sebuah bus kota tua. rasanya lebih tenang di dalam sini, mendengarkan receh-receh kondektur yang meminta uang perjalanan, bau karat dari kursi besi tempat dudukku, bercampur baur dengan bau keringat para pekerja kota satunya. duduk dengan tatapan hangat dari setiap penumpang jauh lebih menyenangkan dari sepanjang perjalanan tadi. aku tidak perlu memasang headset ku, karena sudah ada penyanyi-penyanyi jalan dengan petikan ukulele senar tiganya. dengan lagu tentang cerita hidup yang sebenarnya.

kupejamkan mata. kudongakkan kepala. kuhirup aroma bus kota tua. kudengarkan kudapan sore hari berupa lagu dari ukulele mereka. rasanya bebas saja.




dalam hiruk pikuk kota tua jakarta. lelah menyaksikan
//petak nomor dua satu, cilandak. di sore, di duapuluh delapan mei.

alif kecil

ketika malam datang mencekam
kulihat si alif kecil yang malang
duduk tengadah ke langit yang kelam
meratapi nasib diri

kilat menyambar hujanpun turun
semakin basah hatinya yang resah
kapankah semua ini kan berakhir
di jalanan penuh duri

ya allah, tunjukkan jalanmu
pada si alif kecil
agar ia dapat menahan cobaan
dan rintangan yang datang menghadang

ya allah, kuatkan hati
pada si alif kecil
agar terbebas dari tirani
menuju cahaya ilahi



terinspirasi lagu nasyid lama
//di kamar dua satu, kampus cilandak, di duapuluhtujuh mei

alif lam


kau selalu saja begitu. berdiam diri dalam kitab kecil itu, kitab yang lebih kecil dari sebelah genggaman tanganku malah. ketika kitab-kitab lain riuh ricuh hingga membuat halaman per halaman sedikit kumal untuk sekedar diraba, kau masih saja duduk diam disana, tersenyum manis. apakah kau sedang menyapaku? bisakah kau besarkan sedikit suaramu? karena jujur, aku tidak mendengarmu. barang sedikit.

atau kau punya masalah dengan sekitarmu? apakah ada yang salah dengan kitab-kitab di samping kanan kirimu? demokrasi, dasar ilmu politik, kebijakan publik, pembangunan pemberdayaan, community development. seperti itulah nama-nama mereka. aku tidak tahu, apakah kau mengenal mereka dengan baik karena  yang kutahu, interaksimu dengan mereka jelas sangat minim. kalau boleh kukatakan yang sebenarnya, mereka hanya pelengkapmu saja, mereka di bawahmu kok. karena itulah aku menempatkanmu pada kolom yang berbeda. mereka di bawah. kau lebih sedikit di atas. atau ada dari mereka yang mulai mengganggumu? katakan saja, aku tidak akan marah. aku janji.

alif lam. kenapa kau masih diam saja.

sepertinya ada yang salah. sehingga aku masih saja gelisah seperti ini. atau jangan-jangan aku yang salah? kau jadi membuatku terpaku mati seperti ini. 

aku jadi ingat ketika kau masih sering menyapaku. dulu. ketika aku belum  berkenalan jauh dengan kitab-kitab lain itu. ketika bait-bait yang mereka tawarkan seperti membiusku untuk berpaling. entah yang mereka tawarkan itu baik atau tidak. entah aku dalam posisi rindu bertegur sapa denganmu. taukah apa bedanya tegur sapa antara denganmu dan dengan mereka? kau bercerita lugas di dalam hati, ketika mereka hanya bisa mencapai pikirku. 

kalau memang kau diam karena aku jarang menyapamu, maka tegurlah aku lebih dulu. karena aku sudah cukup tidak tahu diri untuk menegurmu lebih dulu. sudah cukup yakin sepertinya aku sekarang. aku harus terus merindukanmu.



mede
//kamar21 kampus cilandak, di duapuluhenam mei, di pagi

titik


malam ini dua belas dua tiga, waktu barat. terhenyak sebentar dari rajutan bunga-bunga tidur. kata orang, tulisan saya kurang begitu jelas, tidak begitu terang, tidak terlalu permisif menebar makna mayoritas. tapi begitulah saya, dan terimalah.

titik. jika terdefinisikan dengan sebuah symbol, maka ia terekam dalam balutan kecil yang setiap lainnya berawal. karena goresan pena, persentuhan dengan mediasinya, berawal dari satu titik. jika ia (titik) terhampar dalam satu media, hitam di atas putih ata berbaliknya, atau perpaduan warna kontras satu lainnya, 

maka ia bisa bahkan sudah hampir pasti menjadi talenta, menjadi perhatian, menjadi focus, menjadi sesuatu dalam sesuatu, menjadi pencerita dalam cerita, menjadi a dalam rangkaian duapuluhenam lainnya, menjadi 0 dari bilangan cacahnya. ya, dia menjadikan yang lainnya berbeda.

 dia (titik) sederhana, karena memang dia tidak mau paksakan diri menjadi yang lainnya, tapi dia selalu kontributif untuk memulaikan semuanya ada.ya, dia inspiratif, karena dia memulai, memulai segala sesuatunya. tidak pernah rasanya titik menggugat dirinya untuk diakui, karena dari ia segala bermula. dia tertutup, tidak terlalu ingin tampak, tidak ingin terlalu mengemuka. tidak terlalu sulit untuk bertemunya atau membuatnya, hanya dengan sentikan mata, tap! dia ada. pernah menimbang untuk melihat sesuatu yang jauh, jauh sekali, atau amat jauh?pasti kan saja, dia bermula dari titik yang kecil ke titik yang besar, ke sebuah bentuk, berlanjut ke sebuah jelas, lanjut terus kepada terdefinisi dan termaknai. titik itulah awal, dari sebuah jelas dari sebuah makna. bisa saja titik itu jauh, teramat jauh untuk dimaknai mata namun pada akhirnya, dia akan memberi kejelasan jikasaja diperjuangkan dengan berjuang. 

dalam sebuah gabungan s p o k atau s p saja, titik bisa saja mematikan nya dengan menempatkan dirinya di akhir huruf di pojok sekali. tapi, kita tersadarkan, termaknai, menjadi paham, bahwa sesudahnya kita bisa bercengkrama dengan sebuah awal kembali. kita bisa bertemu dengan huruf diantara yang duapuluhenam, bertemu dengan kata, kalimat dan apabila beruntung, kita akan menjumpa dengan paragraph baru. ya, titik itu pembuka lembaran baru, bisa saja judul baru untuk cerita baru. 

titik juga jadikan berbeda itu ada. melihat sedikit ke barisan hijaiyah dari arab, banyak titik dimana disuka dimakna. dengannya, kita membeda antara satu dan lainnya. dengannya, huruf per huruf akan jauh berbeda tinjauan grafologinya, makna per katanya, dan cerita dari kalimat per kalimatnya. ketika satu titik menghilang, satu titik menjauh dari peraduan, atau satu titik menyelinap dalam satu lainnya, dia berubah. dan perubahan dalam grafologi hijaiayah biasanya tidak akan konstruktif. maknanya ubah berbaur aneh. 

entah bagaimana selentingan titik itu bisa ada menyelinap di benak, di dalam pekatnya nyaman, atau senda guraunya pikir. mungkin saja, titik itu terlempar begitu saja dari ramahnya jari jemari, atau sebuah persingkatan yang paling singkat, atau penemuan yang paling cepat. mungkin juga karena saya ini awal, atau saya ini adalah akhir, atau mungkin saja awal dan akhir dalam konteks yang bersamaan. selalu berharap, titik yang ada bisa menjadi awal. awal penciptaan, awal yang baik untuk akhir yang indah.




dalam keteringatan titik di selentingan jemari sebelah sana.
//rumah banjarbaru, di dua puluh lima desember

kamuflase

cermin pernah mengajak bertukar sedikit fakta, tanpa kata, tanpa suara. apa yang menampak, seperti itulah yang mengemuka, yang menukarkan diri dengan kata dan suara, dari luar, bukan dalam tentunya. mata bertukar mata, berbagi gembira, akan indahnya refleksi dari si pemantul. gembira di luar jelas, bukan di dalam.

ingin sesekali mengajak, untuk sesekali bertukar hati, bertukar data’ dari anomali refleksi yang ada. karena, refleksi hati seperti lebih nyata dari cermin dimana, dimana saja. namun, delusi akan sebuah anomaly refleksi seperti lebih mengemuka disbanding lainnya. distorsi, ketika fakta diputar dan dibalik akan terus dan terus menerus.

ya, kamuflase. suatu proses pengelabuan, menyamarkan, mencoba mengubah refleksi akan terus dan terus menerus kembali. entah kapan akhir. entah kapan berhenti.




 dini hari yang selalu hangat.
//ampera raya cilandak, rabu di empat april

cahaya kecil

Photobucket

buku berserak barak

Photobucket

bintik kopi

Photobucket 

sore ini, seperti biasa kembali kunikmati butiran kopi yang berlari di sepanjang gelas putih milikku. ditemani sepotong sendok, yang kulupa punya siapa. lebih tepatnya, pura-pura lupa. sepanjang apa lintasan pacu butiran kopi yang ditawarkan, sepanjang itu juga kuupayakan memburunya. kuupayakan juga ikut berlari bersama.

air setengah mendidih yang kuseduh di ruang tengah seperti sedang berdiskusi di dalam. cukup alot, membuatku sedikit jemu untuk menatap, hanya sekedar menatap hangat yang ia tawarkan. menunggu butir demi butir menenggelamkan diri itu ternyata membosankan juga. kenapa?mungkin karena aku orang yang tidak begitu suka pahit yang butiran kopi ceritakan. aku hanya seorang yang menunggu hasil diskusi singkat antara mereka saja. karena yang kupahami, diskusi akan menimbulkan banyak refleksi, walaupun hanya segelintir saja yang mencapainya.

ada yang menarik dengan aku dan kopi belakangan ini. tidak seperti biasa, aku tidak mengikutsertakan banyak gula. walaupun tidak dapat kusangkalkan, aku masih tidak bisa lepas dari si manis ini. mungkin saja aku sedang mencoba pahit yang sepertinya sangat jarang berlaku, atau mungkin juga manisku keterlaluan sehingga aku tidak begitu tahu bagaimana pahit sedang bercerita, dengan indahnya.


 satu sore, masih dengan pergulatan kopi hitamku.
 //ampera raya cilandak, hari selasa di duapuluhdua mei.

bukit layangan


Photobucket

suatu pagi, di sebuah bukit layangan. aku kecil berjumpa dengan kamu kecil. aku tahu kamu pasti datang dengan membawa ransel kecilmu itu, dan sudah pasti aku juga membawa tas bututku ini. kita tahu dan sama-sama tahu, kalau kita membawa perbekalan masing-masing. kita saling tersenyum saja ketika bertemu sebelum ini. kita membuka bekal masing-masing. kamu di sebelah sana, aku di sebelah sini. tapi hari ini, aku ingin bermain bersama. maukah kamu bermain bersamaku?

suatu pagi, di sebuah bukit layangan. aku tidak perlu banyak bicara untuk mengajakmu bermain. aku lemparkan tangan kecilku, kamu langsung menyambutnya. sepertinya kita sama. butuh teman bermain. toh, kemarin-kemarin kita sama-sama bermain sendiri. kalau bermain bersama jauh lebih menyenangkan, kenapa jadi harus bermain sendiri. kita sepemikiran. mari kita bermain bersama.

suatu pagi, di sebuah bukit layangan. kita sama-sama bingung mau bermain apa. ternyata diluar pemikiran kita berdua, kita sama tidak kreatifnya. hehe. tapi bukan berarti kita lewati waktu bermain ini dengan begini saja. aku tahu apa yang menjadi kesenanganmu, sehingga tidaklah sulit untuk membuatmu tertawa lepas. kalaupun sebenarnyakamu masih bilang, aku tidak kreatif membuat suatu permainan, aku langsung berlari menghampirimu. melepaskan jitakan mautku. enak saja kamu bilang tidak kreatif, aku tidak terima! kamupun bisanya cuma terdiam ketika jitakan demi jitakan mendarat di kepalamu. sebenarnya bukan jitakannya yang penting. sesudahnya. kita tertawa lepas bersama lagi. 

suatu pagi, di sebuah bukit layangan. kamu mengajakku lomba lari. akupun menerima saja ajakanmu, karena katamu juga, yang kalah gendong yang menang nantinya. wah, kapan lagi aku bisa digendong, pikirku. kita berdua mempersiapkan diri, karena yang aku tahu, kamu lumayan jago lari. mulai! kita berlari bersama, mencapai garis finish yang kita sepakati bersama. ternyata kamu tangguh juga, tapi tetap saja aku lebih tangguh darimu. kutinggalkan kau sedikit di depan. sedikit saja. sampai kau tarik tanganku, ah curang! akupun terjatuh, dan kamu sampai finish pertama. curang, curang, curang. tapi kamu tetap saja menjulurkan lidah jelekmu itu, sambil memaksa-maksa digendong, seperti kesepekatan sebelumnya. dengan memasang muka bengisku, kugendong kamu keliling lapangan bukit layangan kita. ternyata kamu ringan saja, hehe. tidak ada salahnya rasanya kugendong kamu walaupun aku menang tadi. dan seperti biasa, kita menyanyikan lagu faforit kita bersama-sama, sambil tertawa lepas. 

que sera sera, whatever will be will be.the future's not ours to see. que sera sera, what will be will be . . .

suatu pagi, di sebuah bukit layangan. capek juga bermain sepanjang hari. kita buka bekal sama-sama. kamu ambil bekal dari tas ranselmu, aku ambil dari tas bututku. kita saling menjulurkan lidah awalnya, karena kita masing-masing menyombongkan bekal yang kita bawa. tapi ujung-ujungnya, makan bekal bersama-sama ternyata jauh lebih menyenangkan. aku membagi bekalku, kamu tidak lupa membagi bekalmu. jadi sedikit lebih nikmat istirahat hari ini, karena aku bisa mencoba makanan baru. bukan ikan asin seperti biasa. 

suatu pagi, di sebuah bukit layangan. memang ini sudah waktunya pulang. tapi aku ingin mengajakmu. ya, mengajakmu terbang. aku sedikit memaksamu dengan mata mubengku, akhirnya kamu mau juga. kita tanggalkan saja tas ransel kita berdua disini, kita tinggalkan di bukit layangan kita. kita siapkan terbang ini dengan berlari. mari, pegang tanganku, kita berlari bersama. 

lari..lari..lari..terbaaaaaaang!

aku masih memegang tanganmu. ternyata terbang bebas lepas itu menyenangkan ya. lebih-lebih aku bisa terbang dengan menatap matamu seperti ini. sekarang. yang kupunya hanya dirimu. maukah kamu terus terbang bersamaku seperti ini? untuk menua bersama-sama.




mede
//bukit paralayang puncak. di tujuh belas mei