sumba opu fort

antara hitam dan putih


hari ini kutumpahkan semua dalam bentuk kata karena aku rasa tak berarti kalau tumpahan itu hanya dari air mata, toh tak pernah aku merenungi air mata itu menjadi rincian kerja nyata.
hari ini kulihat jamtangan ku menunjukkan pukul 13.04, ya tengah hari lah kata lainnya. aku makan, berserakan, keramaian, entah berapa banyak yang ikut bersantap penuh suka, katanya. aku rasa sedikit berbeda, walaupun sebenarnya sudah kulakukan hal ini berkali-kali, berulang kali dan sekali lagi berkali-kali. entah itu kesadaran, entah itu komitmen pasif seperti biasa, atau mungkin yang lainnya.

keteladan yang hilang



tulisan ini kudedikasikan untuk diriku, penikmat diri dan orang-orang yang mungkin banyak terdzolimi oleh diriku. sikapku. perkataanku. atau mungkin bagian kecil besar diriku yang membuat kalian kaku terpaku.
entah kenapa dengan diriku. entah kenapa dengan hati ini. setiap ingin berbuat, alasan alasan bergerilya menghalangi. setiap ada terpikir, selalu ada janggal yang mendesak. katanya ingin lebih baik, katanya ingin menjadi lebih besar. jika seperti ini sentakan-sentakannya, baik hanya akan menjadi angan, besar hanya akan menjadi bualan. tapi, sudahlah. aku tulis, aku berkomitmen, tak ada yang terealisasi aktif menjadi positif.

entah apa

 perkenalkan namaku topeng,
kalau aku berjalan, entah kenapa orang memanggilku pengembara kehidupan
kalau aku berlari, entah kenapa orang memanggilku si cepat tiada banding.
aku jongkok, katanya aku hebat.
kalau aku berdiri, aku superior.
kalau aku tersenyum, aku dinamai si penebar pesona.
kalau aku bicara, gelar si penggugah suasana pun kudapat.
kalau aku makan, harus ada hidangan terbaik.
kalau aku menangis, harus ada yang mengembalikan senyumku.
kalau aku tertawa, harus ada orang yang kucampakkan.
kalau aku begini, orang harus begitu.
kalau aku begitu, orang harus seperti ini.
ketika aku bercermin.
ah,
aku lupa,
aku tak punya nama.
jelas aku tak punya rupa.
rupaku, namaku, aku.
hanyalah sebuah usang di kantong yang lusuh.


bongkar muatan laptop kembali,
-maidiyanto rahmat-

pelabuhan akhir

katanya,
pelabuhan itu tanpa nama,
indah, nyaman tentram dan menyejukkan.
aku berlayar,
terus berlayar pecahkan ombak-ombak yang tidak tahu sebesar apa,
walau dengan seonggok perahu,
yang kutahu sudah tak tahu rusak berapa.
kupertahankan tangan ini,
agar tetap pada iramanya,
kupertahankan kaki ini,
agar tetap melangkah fana,
kupertahankan sepatah badan ini,
agar terus mengayuh, mengayuh, mengayuh, mengayuh.
ayo.
semangat yang tidak tahu kapan dimulai.
yang lebih tidak tahuku kapan terus bertahan, bahkan selesai
ya.
aku harus sampai pada pelabuhan itu.
karena disana, “katanya”
indah, nyaman, tentram, meyejukkan.
aku lupa,
aku lebih dari seonggok dosa
lebih hina daripada muna
aku lupa,
aku tanpa nama
tanpa nyawa.



bergerilya bongkar muatan laptop,ditulis entah kapan

 -maidiyanto rahmat-