pribadi

pribadi. dunia ini penuh dengan pribadi-pribadi, dengan multifaset dan multikulturnya. dengan multifisik dan multipersonalitas kepemilikannya. ya, jelas, tegas bahwa pribadi itu tidak sama, beda, multifaset, dan dia berdiri satu-satu, sendiri dengan realita independensi setiapnya. kalau ada argumentasi, mungkin ada yang melebar menjadi hipotesa, bahwa, ada pribadi yang sama di rata dunia ini, jelas salah dan ketika berlarut-larut akan menyalahkan. jelas, setiap pribadi itu beda.

dia

semakin berlarut-larut saja rasanya. semakin merasa bahwa nyaman itu ada, sedang bergerilya, sedang bercerita dengan lugasnya, disini, di hati dan tepat tempatnya. coba mengingat dulu ketika masa muda, masa masanya masih berdecap dengan sedikit cakap, rasanya nyaman ini belum pernah ada apalagi menggempita seperti ini. ya, tepat, karena dia.

katanya, dia sederhana, memang seperti itu rasanya. katanya, dia itu tidak seberapa, kalau dilihat muka dan rupa, benar adanya, tapi tetap hati ini bilang dia istimewa. mungkin ada yang sedikit berkata, dia itu sama, jelas salah, dia itu berbeda. berbeda. berbeda. berbeda dan istimewa.

kata dan bicara

kita mulai saja hitam diatas putih ini. karena, ketika bicara belum hiper aktif atau proaktif atau (bisajuga) aktif saja, maka lengkungan garis yang tersepakati menjadi tanda, menjadi isyarat, menjadi makna sehingga setiap orang yang memperhatikannya akan menjadi makna, yang sama tentunya.

sebut saja  yang kita tulis ini kata. tulisan akan menggempita jika ada paragraph yang berhadir nyata. paragraph akan mengemuka, ketika kalimat menunjukkan mukanya. kalimat juga akan berunjuk, jika ada kata. ya, kata yang memberikan cerita, kata yang mengemuka sebuah tulisan, kata lah yang berkontribusi untuk sebuah makna.

cinta

masalah ini tersedak sekarang dalam pekat dalam tenggorok dan badan seluruhnya. dulu memang tersepelekan kata yang tersingkat sedikit ini, karena memang tidak pernah ada berdampak mengakar hebat dalam setiap inchi hidup ini. dan akhirnya, aku merasakannya, menjalankannya, hingga ia merasuk pekat dalam akal, rasa, pikir, sentak dan berbuat.
awalnya memang biasa saja, hanya sebuah proses kagum yang berlebihan saja. namun, ya apa mau dikata, dia mulai tumbuh, menancap, secara resesif mematenkan dirinya menjadi bagian dalam tubuh yang sudah ringkih ini. akhirnya, sadar itu mulai muncul, ketika dulu senyuman simpul sering bergelora melihat pemuda-pemudi saling mencinta dan dicinta. sedikit sepele muncul ke permukaan ketika yang satu bergombal durja kepada sang dicinta. ketika hati, pikir, dan rasa mengatakan, tidak usah berlebihan kawan, biasa saja. ternyata. ternyata. seperti ini cinta menawarkan dirinya.

si besar yang terlalu kecil

sudah lama rasanya saya tidak bermain dalam lengkungan keyboard computer kah namanya, atau dulunya ini hanya mesin tik rengkit sempit. 

hati ini terasa berdebar kencang terus kawan. seperti telah terjadi pergumulan atau pergumpalan atau bercampur pekatnya sesuatu yang aku pun tak tahu apa. pergumulan ini seolah tunjukkan pada saya, bahwa saya ini bukan apa-apa, belum ada apa-apa yang terbuat bahkan untuk dirimu sendiri lebih-lebih untuk serentetan manusia lain. seolah isi kepala ini tidak mampu dan cukup untuk meladeni pergumulan yang terus berkembang, proaktif dan hiper bisa mungkin.

aku dan sutradara


sepertinya memang seperti ini caraku menikmati hidup. berbuat, salah, kembali berbuat dan seperti tidak ada yang terjadi. banyak orang memprestasikan dirinya untuk sebuah perubahan, perubahan dan perubahan. aku memang ditakdirkan seperti ini. tidak ada perubahan. datar. tanpa perkembangan. penuh involusi. penuh desersi. penuh kesalahan. penuh ketidakpastian. penuh hal-hal yang selalu negatif. 

aku tak begitu tahu caranya. aku tak begitu mengerti alurnya. aku tak begitu mengerti jalan ceritanya. aku tak mengikuti skenarionya. ya. sekali lagi ya. aku bukan aktor yang baik. aku bukan seseorang yang selalu katakan ya kepada setiap kata yang terlontar pekat dari sang sutradara. entah bagaimana akhir ceritanya nanti, tak terpedulikan sungguh bagi diri yang hampa ini. lagipula, aku dan sang sutradara terlalu jauh jaraknya. walaupun ada yang katakan sutradara itu dekat, aku tak begitu mengerti untuk menjalankan skenarionya yang aku sendiri produsernya (mungkin) atau sang sutradaralah yang merangkap untuknya.

risau itu akut

jujur aku sebenarnya kurang nyaman dengan keadaan seperti ini. entah aku yang membuat-buatnya seperti ini, atau memang seperti ini sudah terjalankannya. ada semangat dari beberapa, aku sendiri yang tidak menerimanya. ada yang sudah memutuskan untuk memperhatikanku lebih dan sedikit berbeda, tapi lagi-lagi aku seolah-olah tidak menggubrisnya. ada yang tidak peduli apapun kata untuknya, dia masih terus memutuskan untuk menyemangati makhluk tidak tahu etika ini. tapi, ketidak pedulian juga merebak aktif.
aku lelah tuhan.