jalan di bus

Photobucket

pesan singkat

hari ini. pesan singkat menyapaku. tidak seperti sebelumnya, dia diam disana. hanya melemparkan tatapan. hanya membagikan pandangan.

hari ini. pesan singkat menyapaku. walaupun ini bukan pertama kalinya. aku sedikit gagu. bagaimana membuat pembicaraan singkat. dan membuat, seolah-olah kita dekat. toh, kita juga teman sejak lama jadi apa salahnya, iya kan?

hari ini. pesan singkat menyapaku. harus kuakui. aku senang kau menyapaku kembali. bolehkah aku bertanya. kenapa kau berdiam begitu lama? jangan diamkan aku lagi ya. karena aku senang kita saling menyapa. seperti dulu.




mengamati pesan singkat, satu-satu
//dalam kampus cilandak, bersama teman lama, dimalam ditiga puluh mei

kosmetik

aku hari ini dapat kesempatan menyusuri sepanjang kota. Kota tetangga. aku sudah lama disini, tapi kesempatan untuk mencicipi jamuan kota tua ini tidak datang  untuk kedua kalinya. lalu adakah alasan untukku untuk menolaknya? tidak ada.

kota berbau asam ini bukanlah kota yang menarik sebenarnya. sepanjang jalannya, tidak ada aroma lain yang bisa kau sapa, sepertinya memang tampak berbeda. tapi percayalah padaku, aroma mereka semua sama saja. mereka seperti menawarkan kepadamu aroma-aroma  khas yang mereka punya. mungkin mereka membuatnya dengan berbagai campuran dengan rumus-rumus yang mereka formulasi sendiri. mungkin juga, aroma yang mereka cap sebagai milik mereka itu sudah melewati berbagai percobaan-percobaan seperti para ilmuwan hebat pada masanya masing-masing. mungkin. mungkin saja. tapi, sekali lagi aku coba meyakinkan kalian. aroma mereka kelihatannya saja berbeda. mereka semua sama saja.

aku coba menyusuri satu-satu jalannya. di pojok blok pertama,  sekumpulan anak, aku bertemu dengan mereka. mereka bukan anak-anak lagi sebenarnya, tapi mereka jauh dari sebuah kata dewasa. satu yang tidak kusenangi dari mereka. tatapan matanya. seperti mengisyaratkan sebuah panah yang baru saja diarahkan melesat ke hati kecilku. dan ketika kucabut perlahan anak panah itu, bukan di badanku, tapi tepat di tas bututku. mereka tidak jauh lebih pandai dari dugaanku untuk memanah dengan baik. ternyata ada kertas kecil melingkar di ujung panahnya. kulihat.

‘hei, kamu berbeda dengan kami. datang  dari planet mana?’

congkak! padahal yang kudengar kabarnya. mereka disini juga bukan karena uang-uang mereka. ya, karena receh-receh orang miskin yang masuk kedalam kantong uang tua mereka. kuberi nama saja mereka anak-anak orang kaya termiskin di dunia.

sudahlah, untuk apa aku berlama-lama dengan miskin-miskin berbahaya itu. aku berjalan lagi. blok selanjutnya, aku tidak menemukan banyak interaksi disini. setiap orang penduduk ini duduk di pojok-pojok setiap toko-toko kecil yang mereka klaim pojok milik diri mereka sendiri. dengan computer jinjing, satu paket dengan paket internet yang sudah mereka anggap seperti tiket untuk melancong ke negeri mana saja. aktivitas mereka juga tidak banyak. mereka gunakan software untuk memperbaiki penampilan mereka. software penghilang jerawat, software pembuat bingkai hidup, software pengaturan cahaya untuk memaksakan muka hitam mereka menjadi sedikit lebih terang. ya, setidaknya mereka bisa bernampilan lebih baik. walaupun hanya di dunia maya.

bosan aku cuma berjalan-jalan saja. kuputuskan  mampir ke dalam sebuah toko besar. katanya, toko ini khusus untuk wanita saja, tapi ternyata banyak juga laki sepertiku yang masuk begitu saja. dalam sini cukup banyak yang kutemui. ada yang tersenyum, ada yang tidak. seorang wanita, umurnya sekitar duapuluhan. kami bertukar mata bukan secara langsung, lewat kerjasama kami dengan cermin besar di depannya. dia sedang berdandan ternyata. dan dia ternyata sudah disana dari pagi, padahal ini siang hari. katanya warna pakaian atasnya masih belum bertemu pasangan pakaian bawahnya. ada-ada saja.

toko besar ini punya banyak toko-toko kecil. toko yang kuingat, ada beberapa. ada toko yang menjual emas, yang katanya kalau memakai emas dari tokonya, tidak ada yang melihat tanpa berkedip ketika kita mengenakannya. ada juga beberapa butik pakaian. seingatku, tidak ada satupun butik yang menyelesaikan jahitannya dengan baik. ada yang masih belum selesai di bagian punggungnya, ada yang bagian kanankiri lengannya tidak sama panjangnya, ada yang masih bolong di bagian perut. tapi ternyata penduduk di blok ini menyukai pakaian-pakaian belum jadi itu. ya sudahlah. ada satu toko yang cukup menarik, mottonya, ‘menghilangkan segala kekurangan fisik yang kamu punya’. cukup mengejutkan. bukan karena mottonya, tapi karena toko ini sudah menyusul tuhan. baru saja. ini toko kecil terakhir.

kota berbau asam ini ternyata luas juga, padahal aku hanya melintas sepanjang garis lurus saja, belum ada belokan yang kujalani. mungkin saja, masih saja banyak lagi sesuatu yang lainnya.  dan aku. berakhir di sebuah bus kota tua. rasanya lebih tenang di dalam sini, mendengarkan receh-receh kondektur yang meminta uang perjalanan, bau karat dari kursi besi tempat dudukku, bercampur baur dengan bau keringat para pekerja kota satunya. duduk dengan tatapan hangat dari setiap penumpang jauh lebih menyenangkan dari sepanjang perjalanan tadi. aku tidak perlu memasang headset ku, karena sudah ada penyanyi-penyanyi jalan dengan petikan ukulele senar tiganya. dengan lagu tentang cerita hidup yang sebenarnya.

kupejamkan mata. kudongakkan kepala. kuhirup aroma bus kota tua. kudengarkan kudapan sore hari berupa lagu dari ukulele mereka. rasanya bebas saja.




dalam hiruk pikuk kota tua jakarta. lelah menyaksikan
//petak nomor dua satu, cilandak. di sore, di duapuluh delapan mei.

alif kecil

ketika malam datang mencekam
kulihat si alif kecil yang malang
duduk tengadah ke langit yang kelam
meratapi nasib diri

kilat menyambar hujanpun turun
semakin basah hatinya yang resah
kapankah semua ini kan berakhir
di jalanan penuh duri

ya allah, tunjukkan jalanmu
pada si alif kecil
agar ia dapat menahan cobaan
dan rintangan yang datang menghadang

ya allah, kuatkan hati
pada si alif kecil
agar terbebas dari tirani
menuju cahaya ilahi



terinspirasi lagu nasyid lama
//di kamar dua satu, kampus cilandak, di duapuluhtujuh mei

alif lam


kau selalu saja begitu. berdiam diri dalam kitab kecil itu, kitab yang lebih kecil dari sebelah genggaman tanganku malah. ketika kitab-kitab lain riuh ricuh hingga membuat halaman per halaman sedikit kumal untuk sekedar diraba, kau masih saja duduk diam disana, tersenyum manis. apakah kau sedang menyapaku? bisakah kau besarkan sedikit suaramu? karena jujur, aku tidak mendengarmu. barang sedikit.

atau kau punya masalah dengan sekitarmu? apakah ada yang salah dengan kitab-kitab di samping kanan kirimu? demokrasi, dasar ilmu politik, kebijakan publik, pembangunan pemberdayaan, community development. seperti itulah nama-nama mereka. aku tidak tahu, apakah kau mengenal mereka dengan baik karena  yang kutahu, interaksimu dengan mereka jelas sangat minim. kalau boleh kukatakan yang sebenarnya, mereka hanya pelengkapmu saja, mereka di bawahmu kok. karena itulah aku menempatkanmu pada kolom yang berbeda. mereka di bawah. kau lebih sedikit di atas. atau ada dari mereka yang mulai mengganggumu? katakan saja, aku tidak akan marah. aku janji.

alif lam. kenapa kau masih diam saja.

sepertinya ada yang salah. sehingga aku masih saja gelisah seperti ini. atau jangan-jangan aku yang salah? kau jadi membuatku terpaku mati seperti ini. 

aku jadi ingat ketika kau masih sering menyapaku. dulu. ketika aku belum  berkenalan jauh dengan kitab-kitab lain itu. ketika bait-bait yang mereka tawarkan seperti membiusku untuk berpaling. entah yang mereka tawarkan itu baik atau tidak. entah aku dalam posisi rindu bertegur sapa denganmu. taukah apa bedanya tegur sapa antara denganmu dan dengan mereka? kau bercerita lugas di dalam hati, ketika mereka hanya bisa mencapai pikirku. 

kalau memang kau diam karena aku jarang menyapamu, maka tegurlah aku lebih dulu. karena aku sudah cukup tidak tahu diri untuk menegurmu lebih dulu. sudah cukup yakin sepertinya aku sekarang. aku harus terus merindukanmu.



mede
//kamar21 kampus cilandak, di duapuluhenam mei, di pagi

titik


malam ini dua belas dua tiga, waktu barat. terhenyak sebentar dari rajutan bunga-bunga tidur. kata orang, tulisan saya kurang begitu jelas, tidak begitu terang, tidak terlalu permisif menebar makna mayoritas. tapi begitulah saya, dan terimalah.

titik. jika terdefinisikan dengan sebuah symbol, maka ia terekam dalam balutan kecil yang setiap lainnya berawal. karena goresan pena, persentuhan dengan mediasinya, berawal dari satu titik. jika ia (titik) terhampar dalam satu media, hitam di atas putih ata berbaliknya, atau perpaduan warna kontras satu lainnya, 

maka ia bisa bahkan sudah hampir pasti menjadi talenta, menjadi perhatian, menjadi focus, menjadi sesuatu dalam sesuatu, menjadi pencerita dalam cerita, menjadi a dalam rangkaian duapuluhenam lainnya, menjadi 0 dari bilangan cacahnya. ya, dia menjadikan yang lainnya berbeda.

 dia (titik) sederhana, karena memang dia tidak mau paksakan diri menjadi yang lainnya, tapi dia selalu kontributif untuk memulaikan semuanya ada.ya, dia inspiratif, karena dia memulai, memulai segala sesuatunya. tidak pernah rasanya titik menggugat dirinya untuk diakui, karena dari ia segala bermula. dia tertutup, tidak terlalu ingin tampak, tidak ingin terlalu mengemuka. tidak terlalu sulit untuk bertemunya atau membuatnya, hanya dengan sentikan mata, tap! dia ada. pernah menimbang untuk melihat sesuatu yang jauh, jauh sekali, atau amat jauh?pasti kan saja, dia bermula dari titik yang kecil ke titik yang besar, ke sebuah bentuk, berlanjut ke sebuah jelas, lanjut terus kepada terdefinisi dan termaknai. titik itulah awal, dari sebuah jelas dari sebuah makna. bisa saja titik itu jauh, teramat jauh untuk dimaknai mata namun pada akhirnya, dia akan memberi kejelasan jikasaja diperjuangkan dengan berjuang. 

dalam sebuah gabungan s p o k atau s p saja, titik bisa saja mematikan nya dengan menempatkan dirinya di akhir huruf di pojok sekali. tapi, kita tersadarkan, termaknai, menjadi paham, bahwa sesudahnya kita bisa bercengkrama dengan sebuah awal kembali. kita bisa bertemu dengan huruf diantara yang duapuluhenam, bertemu dengan kata, kalimat dan apabila beruntung, kita akan menjumpa dengan paragraph baru. ya, titik itu pembuka lembaran baru, bisa saja judul baru untuk cerita baru. 

titik juga jadikan berbeda itu ada. melihat sedikit ke barisan hijaiyah dari arab, banyak titik dimana disuka dimakna. dengannya, kita membeda antara satu dan lainnya. dengannya, huruf per huruf akan jauh berbeda tinjauan grafologinya, makna per katanya, dan cerita dari kalimat per kalimatnya. ketika satu titik menghilang, satu titik menjauh dari peraduan, atau satu titik menyelinap dalam satu lainnya, dia berubah. dan perubahan dalam grafologi hijaiayah biasanya tidak akan konstruktif. maknanya ubah berbaur aneh. 

entah bagaimana selentingan titik itu bisa ada menyelinap di benak, di dalam pekatnya nyaman, atau senda guraunya pikir. mungkin saja, titik itu terlempar begitu saja dari ramahnya jari jemari, atau sebuah persingkatan yang paling singkat, atau penemuan yang paling cepat. mungkin juga karena saya ini awal, atau saya ini adalah akhir, atau mungkin saja awal dan akhir dalam konteks yang bersamaan. selalu berharap, titik yang ada bisa menjadi awal. awal penciptaan, awal yang baik untuk akhir yang indah.




dalam keteringatan titik di selentingan jemari sebelah sana.
//rumah banjarbaru, di dua puluh lima desember

kamuflase

cermin pernah mengajak bertukar sedikit fakta, tanpa kata, tanpa suara. apa yang menampak, seperti itulah yang mengemuka, yang menukarkan diri dengan kata dan suara, dari luar, bukan dalam tentunya. mata bertukar mata, berbagi gembira, akan indahnya refleksi dari si pemantul. gembira di luar jelas, bukan di dalam.

ingin sesekali mengajak, untuk sesekali bertukar hati, bertukar data’ dari anomali refleksi yang ada. karena, refleksi hati seperti lebih nyata dari cermin dimana, dimana saja. namun, delusi akan sebuah anomaly refleksi seperti lebih mengemuka disbanding lainnya. distorsi, ketika fakta diputar dan dibalik akan terus dan terus menerus.

ya, kamuflase. suatu proses pengelabuan, menyamarkan, mencoba mengubah refleksi akan terus dan terus menerus kembali. entah kapan akhir. entah kapan berhenti.




 dini hari yang selalu hangat.
//ampera raya cilandak, rabu di empat april