entah apa
perkenalkan namaku topeng,
kalau aku berjalan, entah kenapa orang memanggilku pengembara kehidupan
kalau aku berlari, entah kenapa orang memanggilku si cepat tiada banding.
aku jongkok, katanya aku hebat.
kalau aku berdiri, aku superior.
kalau aku tersenyum, aku dinamai si penebar pesona.
kalau aku bicara, gelar si penggugah suasana pun kudapat.
kalau aku makan, harus ada hidangan terbaik.
kalau aku menangis, harus ada yang mengembalikan senyumku.
kalau aku tertawa, harus ada orang yang kucampakkan.
kalau aku begini, orang harus begitu.
kalau aku begitu, orang harus seperti ini.
ketika aku bercermin.
ah,
aku lupa,
aku tak punya nama.
jelas aku tak punya rupa.
rupaku, namaku, aku.
hanyalah sebuah usang di kantong yang lusuh.
bongkar muatan laptop kembali,
-maidiyanto rahmat-
pelabuhan akhir
katanya,
pelabuhan itu tanpa nama,
indah, nyaman tentram dan menyejukkan.
aku berlayar,
terus berlayar pecahkan ombak-ombak yang tidak tahu sebesar apa,
walau dengan seonggok perahu,
yang kutahu sudah tak tahu rusak berapa.
kupertahankan tangan ini,
agar tetap pada iramanya,
kupertahankan kaki ini,
agar tetap melangkah fana,
kupertahankan sepatah badan ini,
agar terus mengayuh, mengayuh, mengayuh, mengayuh.
ayo.
semangat yang tidak tahu kapan dimulai.
yang lebih tidak tahuku kapan terus bertahan, bahkan selesai
ya.
aku harus sampai pada pelabuhan itu.
karena disana, “katanya”
indah, nyaman, tentram, meyejukkan.
aku lupa,
aku lebih dari seonggok dosa
lebih hina daripada muna
aku lupa,
aku tanpa nama
tanpa nyawa.
bergerilya bongkar muatan laptop,ditulis entah kapan
-maidiyanto rahmat-
pelabuhan itu tanpa nama,
indah, nyaman tentram dan menyejukkan.
aku berlayar,
terus berlayar pecahkan ombak-ombak yang tidak tahu sebesar apa,
walau dengan seonggok perahu,
yang kutahu sudah tak tahu rusak berapa.
kupertahankan tangan ini,
agar tetap pada iramanya,
kupertahankan kaki ini,
agar tetap melangkah fana,
kupertahankan sepatah badan ini,
agar terus mengayuh, mengayuh, mengayuh, mengayuh.
ayo.
semangat yang tidak tahu kapan dimulai.
yang lebih tidak tahuku kapan terus bertahan, bahkan selesai
ya.
aku harus sampai pada pelabuhan itu.
karena disana, “katanya”
indah, nyaman, tentram, meyejukkan.
aku lupa,
aku lebih dari seonggok dosa
lebih hina daripada muna
aku lupa,
aku tanpa nama
tanpa nyawa.
bergerilya bongkar muatan laptop,ditulis entah kapan
-maidiyanto rahmat-
dia menggoda
lama saya tidak merasakan jubah lebar menutupi dada kepemilikan seorang muslimah. dunia kampus memang sebegitu keras dan melihat lebar menjadi sesuatu yang menggetarkan. entah kenapa tadi saya sedikit berbicara hati melihatnya. begitu indah terlihat ketika jilbab lebar itu terbungkus rapi membalut kepalanya. tunduk dengan mata yang sebenarnya zina, tunduk hati ketika berinteraksi dengan lawannya.
jilbab dan sikapnya menjadikan pete-pete alias angkot sediki berbeda. ketika yang jilbab dengan pakaian ketatnya, ketika jilbab dengan sikap nonmuslimnya, ketika jilbab yang lain hanya sebagai replika. bahkan ada yang tidak berjilbab! padahal dia tahu harus.
uh, kampus menjadikan yang lebar tidak terlalu berperan, asing, aneh bahkan mendekati ketidak benaran. aturan liberalis, rasionalis, nasionalis, naturalis menggerogoti aturan sebagaimana mestinya. ketika benar itu mulai memudar, kita yang muslim harusnya coba jernihkan. ketika seharusnya a, jangan dipaksakan b, bahkan ada yang merenovasinya hingga mendekati z.
penghargaan aktif, kemanusiaan, keseteraan gender, entah apa lagi yang diatasnamakan atas kebenaran. ayolah. kita punya aturan. aturan yang akan menjaga. aturan yang benar. aturan yang harus kita laksanakan. masa kita menimbang aturan yang benar, keterlaluan.
uh, indonesia sudah terlalu jenuh. tapi disitu ada tantangan untuk terus tegakkan aturan, hanya yang benar.
mari kita saling mengingatkan.
- maidiyanto rahmat -
keteringatan
huh.
saya tidak tahu kepada siapa pikir ini terluap jadi saya rincikan, selesaikan dalam bentuk kata-kalimat-sejeret gerilya paragraf yang tidak tahu sebenarnya bisa dari mana.
hari ini saya ingat 22 november lalu.
saya ingat ibu.
saya ingat ketika ibu kelelahan di ruang ortopedhy dulu.
saya ingat ketika saat itu saya baru tiba dari sebuah negeri berintangan terjal bernama makassar.
entah berlebihan atau tidak, saya merasa saat itu saya adalah orang yang paling ingin ditemui ibu.
dekapan hangat.
banyak air mata.
darinya.
dari saya entah berapa lebih sedikit.
aku rindu dekapan itu.
aku rindu kehangatan itu.
aku rindu.
aku ingin lagi.
lagi.
Langganan:
Postingan (Atom)