pak bu

malam jam satu lewat tiga belas. entah kesadaran atau sebuah sentakan, aku harus selesaikan rincian kata dalam paragraf.


untuk kesekian kalinya saya terpercik sedikit air mata dari bola mata yang hitam dari tulisan seorang adik yang sebenarnya kakak. uh, capek dan kecewa ini memuncak beradu padu dengan nafsu beringas yang terus menggerogoti. tapi, tapi, tapi, tapi, tapi, tapi, tapi, tapi. entah berapa juta tapi yang saya lontarkan ke penjuru negeri, mungkin laut yang paling terjal sekalipun sudah menyesak dengan tapi-ku. seolah tidak ada ujungnya pendefinisan tapi dalam otak saya yang teramat kecil ini.

tiba-tiba saya terpikirkan bahwa langkah kaki tidak membumi jejak kedua orangtua. tidak ada harapan dari keduanya yang tergantung rapi dalam hati. entah hati ini usang. entah hati ini rusak, entah hati ini tidak ada. entah apa lagi kata yang kucoba kemukakan untuk medefinisikannya. akhirnya, proses pendefinisian kata berbakti yang saya harap hanya menjadi imajinasi yang tidak efektif. hanya terlintas pintas di dalam pikir dan terbuang jauh dari hati sebagai eksekutor utama hidup ini.

pak, bu. saya lelah menghadapinya. andai saja setiap kata bisa menjadi sabda. setiap kalimat bisa menjadi titah. dan setiap doa bisa menjadi fakta. tentu saya bisa jalani hidup ini dengan baik.

entah berapa kata ah yang terlarang oleh alquran sebegitu pesatnya keluar dari mulut.

entah berapa nasihat yang bahkan tidak mencoba untuk dimasukkan walau lewat hidung sekalipun agar bisa tercapai otak.

entah berapa tindakan yang tidak mesti. tidak harus. tidak boleh. dilarang. telah saya berlaku.

entah saya sikapi kata itu menjadi nasihat atau sekedar lewat

entah saya jawab pertanyaan itu dengan singkat tapi tidak padat.

entah saya ini digolongkan (sedikit) berbakti atau tidak (sama sekali).

entah saya teramat sombong untuk berkata, -ya itu yang benar- karena otak saya kan dewasa.

entah saya menulis kata ini dalam aroma kesombongan atau alur kehormatan.

hanya tuhanlah yang penilai.




otak ini entah keman jalannya. mata ini tidak tahu kapan beratnya.

-maidiyanto rahmat-

selamat ied

bismillahirrahmanirrahim.
 

happi ied.
saya benar benar atas nama pribadi tertuju kepada semua yang merayakan mengucap.

selamat hari kurban empatbelas31 hijriah.

takobbalallahu minna waminkum

tidak tahu apakah tradisi maaf memaafkan itu adalah sesuatu yang benar, ataukah kurang benar atau tidak benar. maaf bisa setiap hari rasanya, kalau kita terlalu fokus pada hari, teramat yakin saya pasti momen saling memaafkan hanya terlintas pintas di dalam benak dan teramat tidak sulit untuk berlalu begitu saja.

momen sebentar harus menjadi pelontar bagi diri ini. momen yang tepat sebenarnya untuk membuat dan memaksa diri ini untuk berkorban. berkorban keringat. berkorban tenaga. berkorban dana. berkorban perasaan. dan pengikutpengikut berkorban yang lain. saya menilai dan berpikir kritis bahwa budaya berkorban di negeri bernama indonesia ini teramatlah sangat sempit. sangat kecil. sangat malu. sangat minimalis. ah, kalau bisa berpikir untuk tidak berkorban kenapa tidak. kalau bisa tidak berbuat kenapa harus berbuat. kenapa jadi seperti ini sebenarnya anak negeri tanah air ini, padahal ingat dulu berkorbannya pahlawan untuk kemerdekaan. padahal ingat dulu peluh keringatnya bung karno. padahal ingat dulu berkorbannya suharto dan pengorban-pengorban yang lain. mereka bisa tampil di depan, berdiri, merdeka karena mereka memutuskan untuk berkorban. pertanyaan yang tersedak pada otak ini, kenap kita tidak mulai (berkorban).

bicara idul adha, kita ingat nabi ibrahim yang mengorbankan anaknya ismail karena sudah perintah Allah. berpikir, terlalu hebat niat berkorban ibrahim, bapaknya nabi-nabi sehingga mengalahkan rasionalitas berpikir. ya, selama itu perintah tuhan, wajib tanpa koma dengan titik untuk melaksanakannya. mulailah berpikir kembali, melihat ke dalam diri sendiri, bahwa diri ini terlalu payah untuk melaksanakan apa yang sudah menjadi kewajiban. lupa diri dengan kewajiban. lupa diri dengan sesuatu seharusnya. lupa diri dengan jelas larangan. lupa diri ada yang dipertanggungjawabkan. lupa diri kalau kita disini, memijak bumi karena ada tuhan. tapi, ya beginilah. hanya bualan kata-kata tanpa realisasi positif yang berlangsung.

mari kita menilai idul adha. setidaknya ada beberapa poin penting yang disampaikan idul adha kepada kita. pertama. idul adha itu pemerataan kita di hadapan tuhan. semua tahu. kelilingi kabah dengan kain ihram, tanpa helaian yang lain. semua sama. semua rata. tidak tahu kau rockandroll atau pop alternatif. tidak tahu kau seorang dentist atau pedicabs. tidak melihat kakimu satu atau tanganmu dua. semua tidak melihat semua. hanya takwa yang menjadi pembeda. diskriminatif menjadi pasif.

kedua. tidak cukup jadi ritual tetapi harus jadi sosial. idul kurban merupakan ritual agama tahunan. hewan kurban. wukuf. penyembelihan. tidak cukup, pak. kita harus jadi sosial, membumikan berkorban.  kalau tinggi badanmu masih tidak terlalu rendah kenapa tidak terputuskan untuk terus berkorban. kalau langit masih tidak berpeluk bumi, kenapa berkorban jadi sebuah antipati. kalau keringat masih teramat sedikit, berkorban harus jadi keharusan bukan sebuah pilihan.

ketiga. idul adha adalah perjuangan monoteistik dan humanistik menuju prinsip. saat ketika tuhan yang esa dipertanyakan, dikokohkan dengan ied. ketika saat semua ragu membimbang, ied ajarkan bahwa ada satu tuhan. ketika setiap orang merasa ada kebutuhan seorang,  ied ajarkan ada banyak orang yang kebutuhan. ya, ied ajarkan kita. tetaplah yakin dengan apa yang kau patok tepat menjadi prinsip. berprinsiplah. tepatilah. dapatilah.

akhir kata, tidak banyak.

kita minim berkorban dan banyak berpikir karenanya kita tidak banyak berubah.

jadikan ieduladha sebagai pemicu, pelontar, pengingat untuk terus selalu berkorban.

mari berkorban terus.

 semangat ied yang cukup ada. diatas (sedikit) semangat. petak barak nindya.

-maidiyanto rahmat-

rupiah pesbuk asing


saya harus menyelesaikannya dalam bentuk kata. karena memang, kata untuk saat ini menjadi pilihan terbaik untuk mengungkapkan. di saat lisan membuat bosan, disaat ucap tidak begitu meresap. ya, kata memang bisa menjadi pilihan, dan mungkin bukan terbaik nantinya (semoga).
rupiah. saya sedikit ada masalah dengan rupiah. entah kenapa dengan rupiah, tapi saya merasa dia mulai mengganggu saya. ketika apa yang saya lakukan harus bersamanya. bahkan imam syafii sekalipun menyebutkan, kita butuh ilmu maka kita harus siap dengan rupiah. rupiah, rupiah, rupiah. kita memang tidak ditakdirkan untuk selalu bersama. dan entah kenapa kau juga akan dipertanggungjawabkan waktu nanti. kau selalu menggoda untuk mencerca ketika kau banyak. kau sedikit, maka manfaat tak terkira terhindarkan, tak terhiraukan.
uh. andai saja tak semuanya ternilai dengan diri lusuhmu. keping. kertas. atau apalah lagi yang bisa ternilai denganmu. aku bisa sedikit berbahagia.
aku menyebutmu begini karena sekarang aku bermasalah denganmu. ketika manfaat kucari, tak bisa kurangkul walau sebentar. ya, karena kau tak ada walau sepeserpun. sehelaipun. sekepingpun. aku memang terlalu berharap terlalu banyak denganmu. ya, karena kau (paling tidak untuk saat ini). adalah hal, makhluk, benda atau apalah sebutanmu, yang paling dicari dan dipuja bahkan dijadikan sesuatu yang teramat berharga. andai aku dan manusia yang ada bisa bersepakat denganmu. kau mau, aku juga. aku perlu, kau paham. tapi, sampai saat ini (mungkin) belum.
setiap yang bernyawa pasti akan mati. dan setiap yang bernyawa memutuskan untuk setidak-tidaknya bertemu denganmu. jangan bertanya terlalu banyak di akhir, rupiah. karena kau sedikit merepotkan kehidupan ini.

pesbuk. entah kenapa dan entah bagaimana kata ini menjadi bagian yang mengalir dari setiap inchi darah ini. padahal hanya sekedar bercanda si pembuat membuatnya, hanya sekedar berkarya dia tapi manusia terlalu tergoda. entah, positif dalam kognitif atau negatif dalam reseptif. tapi sebagian manusia lebih memilih untuk bernegatif aktif.
tiap hari, aktif status bergerilya mencederai akal sehat. bahkan aktivitas mikro yang tak pernah terpikirkan untuk diingat pun tercatat rapi jali di balik eksploitasi aktif si pesbuk. terlebih hubungan mencoba, hubungan kirakira, hubungan berlebihan atau hubungan yang baru terpikirakan langsung terekam dalam memori (berjalan) si pesbuk.
uh, kesal aku dengan. setiap hati dan hari terasa harus untukmu. untuk sekedar mendengar curahan (lebai mode on) dari para pembaca yang tidak tahu mood seperti apa. untuk sekedar di dengar dari (yang katanya) teman, sahabat, pacar, atau apa lah bentuk katanya. untuk sekedar tersenyum melihat jempol-jempol yang menempel di kata walau secara tidak sadar, kebanyakan dari jempol yang ada mengarah ke bawah dan menukik tajam tersenyum sinis. untuk sekedar (lagi) membuat pernyataan, pengakuan, perhatian, perasaan atau apalah lagi namanya.
manusia (termasuk saya) terlalu mudah terpedaya. ketika dia pesbuk memutuskan untuk menarik diri sebenarnya dia menarik kita untuk terus bersepeda menyusuri kepentingannya. haha. tapi, ya tetap saja kita pada jalannya. sekalipun kata sudah terucap untuk hanya mengetik tombol deactivate. atau tidak menggeser kursor di dalam dunianya. atau menoreh kata dalam kotak statusnya. atau menukil sedikit gambar (kita) untuk tersenyumsenyum. atau bersenda gurau dengan wall dan notification. ya tetap saja kakek pesbuk (karena seringnya aktivitasnya) menawarkan sejuta tawa, sejuta canda, sejuta sia-sia.
aku harap lain waktu pesbuk bisa memutuskan sedikit bijaksana. dan aku pasti juga.

tadi.
setelah sedikit berceloteh dalam suka atau duka barangkali, aku memutuskan aku adalah asing. bagi diriku, bagi orang lain dan bagi lingkungan ini. sekalipun apapun terjadi, aku tidak begitu terpengaruh dan berpengaruh. di kala ramai membersihkan kloset sempit empat biji di pojok, aku tetap saja merasa asing. di kala lapangan apel pagi-siang-malam-pesiar terbersihkan dengan sekelompok orang, tetap asing. di kala mie ayam terasa sedikit berisik, ya tetap juga asing.
ingin kuusir pergi asing yang menjemukan dan membosankan serta menghiraukan (sebenarnya). tapi aku (belum) tidak bisa. ya, mungkin suatu saat nanti. ketika asing itu tercoret dan satu garis lurus menerpanya. dua, tiga kalau perlu. tapi, ya sekali lagi. aku tidak tahu kapan dan bagaimana bisa terjadi.
lagipula, saya dan dunia sepakat dengan kata asing. toh juga, dunia ini asing, amat singkat. alah. membuat-buat yang tidak penting tapi sepertinya benar dan mesti terpikirkan.

di dalam kesepian pemikiran yang hampir mati
petak (sedikit gelap) ep. 3.11 am. besok idul adha, yes!
-maidiyanto rahmat-

abu-abu

ingin ku lari dari abu-abu ini
biar kupeluk putih di seberang
ingin ku lari dari abu-abu ini
tapi hitam terlalu menawarkan pesona

aku memang bukan pekat
aku juga memang bukan buram
tapi jujur,
aku ingin putih menemuiku
dan, si hitam. Angkat Kaki!
ah, berat.
hitam penuh perhatian
dan putih hanya berdiam

sedikit memori yang terlepas

tiba-tiba ingin mengulas sedikit poto poto yang sudah berlalu. mungkin akan terpikirkan dan terlihat kembali ketika sudah menanjak tua. mari bergerilya.


bersama brownsound main ke benteng fort-rotterdam. saya suka momennya. pas-dapat-tidak menjemukan-menarik. kapan lagi bisa mencoba-harus.


terduduk dalam keramaian di tengah balla lompoa-rumah raja gowa pada jamannya. berjalan-jalan bersama mayaariesdianti-nilaasmar-brownsound-kalisiregar-enyfahriati-rianjani.



yang ini menarik. bersepeda sepeda perempuan dengan keranjang depan. keliling kota makassar-ratuindah-losari. mencoba baju di kamarpas matahari-berfoto menggila. dan sepertinya momen yang tidak akan terulang barang sekalipun. oiya, bersama kali siregar dari medan.


sekali lagi. samata journey-kabupaten gowa-rumah ustadz aan plus teteh nunung. bukit belakang rumah. supir pete-pete yang never remember. kejadian-kejadian aneh nan menggelitik.

menulis saja


diatas jam sepuluh mendekati jam sebelas. ya, hari ini ulang tahun kaka yang selalu direpotkan olehku tapi tetap menyemangati si usang ini. sendiri dalam ritme keyboard yang tidak tahu arah. entah kenapa jari terasa ingin dipicu untuk menuliskan segalanya. dan akhirnya terluapkan
tidak terasa, seminggu atau dua pekan atau entah mulai kapan, hati ini mulai menyesak layaknya abu-abu yang selama ini terpikirkan. sebenarnya, masalah itu tidak terdefinisi dengan baik ya jadinya, penyelesaian pun tidak sampai pada ujungnya. hati sesak. mata mengkelakar. pikiran senantiasa bergerilya, entah sampai kemana ujungnya.
korbannya, ya lingkungan sekitar yang senantiasa memuja saya dan segala ‘kelebihan’ (baca:keterbatasan) . ya, tepat sekaligus benar. saya selalu berupaya menilai orang lain. apa masalahnya. ada yang bisa saya bantu. apa yang saya anggap saya lebih dari dia, dan harus ada. kan saya orang yang penuh keterbatasan (baca:kelebihan), yang tidak pernah mengenal istilah limitation. selalu merendah di depan orang lain belum tentu menjudge saya seperti itu. dan mungkin saja saya merasakan sebaliknya.
kadang terpikirmjuga, kapan saya bisa menyelesaikan segala macam permasalahan yang saya miliki dengan tangan saya sendiri. dengan pikiran saya sendiri. dengan badan yang (teramat mungkin) lapuk oleh dosa ini. ya, tepatnya. seperti saya memperlakukan orang lain.
kadang  terpikir juga, kenapa (rasanya) tidak ada yang memperhatikan diri yang rentan ini sebagaimana saya memperlakukan (mereka). entah mereka siapa yang saya maksud tapi jujur. saya merasa tidak adil. tapi, apalah artinya ikhlas yang sudah saya niatkan kalau seperti itu adanya. apalah artinya segala dan semua kalau saya  meminta balik.
kadang terpikir juga (lagi). kenapa sebenarnya saya harus seperti ini. seperti itu. harus begini. harus begitu. terasa lelah si otak kecil picik ini berpikir tapi tidak terlalu berarti.
akhirnya. luapan tulisan ini pun menjadi landasan pacunya. gelombang kata ini menjadi pelontarnya. dan ritme jari tangan menjadi eksekutor dari segala cuap dan ucap yang tidak pernah niat untuk terlontar. ya, biarlah semua melihat. biarlah segala makhluk bercuap terhadap lontaran kata (busuk dan menusuk) ini.  biarkan semua tahu apa yang tidak tampak dan tidak terlihat. biar semua tahu. biar semua tahu.
ternyata ritme menulis saya seperti ini. tulis apa adanya, terserah bagaimana gaya renangnya yang penting kau dapatkan ujung yang tidak pernah kau perkirakan. aku memaksa humoris. aku memaksa puitis. aku memaksa agamis. aku memaksa melankolis. aku memaksa patriotis. tapi tidak. aku ya aku. aku menulis dengan gayaku. gaya yang kubuat sendiri dan tidak ada yang boleh samai. ya, seperti insting alami yang kupunya. aku memang berbeda dari orang lain.
aku tidak tahu dan mungkin sekaligus tidak mengerti, kapan dunia seperti ini akan berakhir. kapan aku punya teman atau apa lah namanya yang tahu apa sebenarnya masalah ini. teman yang katanya menjaga dari belakang, merangkul dari samping, memeluk dari depan. aku tidak perlu semua itu. kalaupun kau tikam aku dari depan tapi kau anggap aku ada, semua tidak masalah. toh aku biasa dengan sendiri dan biasanya juga begini.
diatas komputer dari bapak ini, kucurahkan segala yang menyesak. aku tidak begitu apa yang terlontar dari kata-kata tapi seperti itulah yang aku punya.

-maidiyanto rahmat-
diatas kursi dengan sedikit robek, di barak sempit yang rapi (bukan karenaku).
10.55 am – dengan sedikit harapan